SOLOPOS.COM - Bayu Ratna Dhini menunjukkan tas kombinasi tenun uwish (kanan) yang dipesan konsumen dari Medan, Jumat (10/2/2017). (Bernadheta Dian Saraswati/JIBI/Harian Jogja)

Ekonomi kreatif untuk usaha kerajinan tangan

Harianjogja.com, JOGJA-Di tengah gempuran produk-produk kulit dari luar negeri, perajin kulit DIY mencoba bertahan sekuat tenaga. Berbagai upaya dilakukan agar tetap menjadi perhatian pasar meski harus menanggalkan idealismenya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Bayu Ratna Dhini, perempuan perantau keturunan Jawa Barat-Padang, merupakan salah satu perajin kulit di Jogja yang tetap bertahan dan optimistis menatap bisnis kulit di masa depan. Ia mengakui, berjalannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akan mengundang pebisnis tas kulit dari Asean masuk ke Indonesia. Produknya pun akan bersaing dengan luar negeri.

Menghadapi itu, ia lebih memilih berpikir realistis untuk tidak terlalu idealis dalam berbisnis. “Saya akan ikuti pasar, yang lagi booming model apa karena sekarang ini trennya sedang begitu. Apa yang lagi tren diikuti. Cara menghadapi MEA ya seperti itu. Kalau tetap mau idealis model saya harus gini-gini, malah nggak jalan,” katanya pada Harian Jogja di rumahnya di daerah Gowongan Lor, Jumat (10/2/2017).

Ayu, memulai bisnis sejak 2012. Ia menjalani usaha pembuatan tas bersama sang suami, Dhani Kurniawan yang juga sama-sama perantau. Dengan mengusung brand Diby Leather, pasutri tiga anak ini memproduksi tas, asesoris, dompet, sampai sepatu. Harga tas mulai Rp500.000-Rp3  juta, asesoris mulai Rp25.000, dompet mulai Rp250.000-Rp500.000, dan sepatu mulai Rp500.000-Rp1,5 juta.

Bahan bakunya menggunakan kulit pull up dari hewan sapi, domba, kambing, dan ular. Kulit pull up merupakan kulit lanjutan dari pengolahan jenis kulit finish leather. Jenis kulit ini lebih tahan lama dibandingkan kulit nabati.

Perajin tas kulit tidak jarang memilih bahan kulit yang sudah disamak. Namun, Ayu lebih memilih untuk menyamak kulit sendiri karena keuntungan yang diperoleh lebih besar. Setidaknya dalam sebulan ia mampu menjual 50 tas dengan omset sampai Rp60 juta.

Ia memasarkan produknya hanya melalui online. Sejauh ini, Ayu masih enggan membuka toko karena biayanya akan membengkak. Justru dengan online tersebut, pemasaran bisa lebih luas sampai Amerika, Prancis, dan negara lainnya.

Diby Leather juga menerima pesanan jika ada customer yang ingin mengombinasikan kulit dengan kain lain. Sejauh ini, ada tiga customernya yang memesan tas kombinasi kain tradisional. “Dari Medan ada yang ngirim tenun uwish dan minta dipadukan dengan kulit. Dari Cirebon dan Bali juga ada,” katanya.

Meski menggunakan kulit dengan kualitas tinggi, Diby Leather juga menyediakan produk untuk segmentasi menengah ke bawah. Bukan kualitasnya yang dikurangi tetapi ukuran tasnya yang diperkecil.

Sebagai perajin kulit, ia tak semata mempercayakan pada lima karyawannya yang tak lain adalah saudaranya sendiri. Bagi Ayu, saat memutuskan sebagai pebisnis tas kulit, ia juga harus bisa menguasai teknik memola, memilih kulit yang baik, menghitung HPP, sampai memasarkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya