SOLOPOS.COM - Nelvy Lucyana selaku pemilik usaha Omah Butik menunjukkan kalung goni yang dipamerkan di Jogja City Mall, Jumat (15/9/2017). (Bernadheta Dian Saraswati/JIBI/Harian Jogja)

Ekonomi kreatif berikut mengenai kerajinan tangan

Harianjogja.com, JOGJA — Bagi Nelvy Lucyana, pemilik usaha Omah Butik, menghasilkan barang kerajinan tidak harus berbahan dasar mahal. Baginya, sampah yang selama ini dipandang sebelah mata pun bisa jadi sumber untuk mendulang rupiah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ditemui saat mengikuti Pameran Batu Mulia dan Perhiasan 2017 di Jogja City Mall (JCM) Jumat (15/9/2017), perempuan 39 tahun ini justru mengaku senang bisa memanfaatkan kain perca sebagai bahan membuat aksesoris kalung. Bahan yang ia butuhkan seperti kain batik dan kain jenis lainnya, biasanya hanya dibuang begitu saja oleh para penjahit. Begitu pula dengan bahan seperti kain goni, jeans, dan belacu.

“Harganya [kain] kan murah. Saya cari di penjahit-penjahit,” katanya pada Harianjogja.com.

Untuk membuat kalung, ia menggunakan kain perca untuk didesain menjadi gantungannya. Kain goni biasanya ia manfaatkan sebagai landasan dan akan dikolaborasikan dengan pernak-pernik lain seperti kancing baju. Tidak hanya membuat kalung, ia juga membuat anting.

Nelvy mengatakan, dari segi bahan baku, ia tidak mengalami kendala untuk mendapatkannya.

“Kesulitannya itu pada ide karena harus gali model-modelnya dan harus up to date,” ujarnya.

Kendati hanya berbahan sampah, menurutnya harus dibutuhkan ide kreatif agar aksesoris yang dihasilkan bisa memiliki daya saing dengan produk aksesoris berbahan eksklusif seperti emas, perak, dan kuningan.

Nelvy mengatakan ruang usahanya juga memproduksi anting.

“Model anting pom-pom yang sekarang lagi model. Kalau kalung yang model tasel atau benang dirumbai-rumbai,” kata perempuan yang membuka usahanya sejak lima tahun lalu ini. Baginya, seorang pengusaha di sektor kreatif harus terus menggali ide yang brilian agar bisa menyesuaikan selera pasar.

Untuk mendapatkan ide desain kalung, perempuan yang masuk dalam Asosiasi Pengrajin Perhiasan Yogyakarta ini browsing model dari internet dan juga mendapat inspirasi dari toko aksesoris. Ia mengaku harus banyak turun ke lapangan untuk mendapatkan inspirasi desain aksesoris.

Nelvy mematok harga mulai Rp15.000-Rp150.000.

“Harganya terjangkau untuk pelajar dan mahasiswa. Kebanyakan konsumennya itu SMA ke atas,” katanya.

Dalam sebulan, ia bisa menjual sampai 200 kalung. Jumlah tersebut memang jauh menurun dari lima tahun lalu yang mampu menembus penjualan sampai 1.000 per bulan. Penurunan itu dikarenakan semakin tumbuhnya pengrajin kalung berbahan kain perca.

Selama ini ia memasarkan melalui online dan offline. Salah satu cara pemasaran offline dilakukan dengan mengikuti pameran seperti Pameran Batu Mulia dan Perhiasan 2017 di JCM.

“Kami berharap agar pengrajin bisa memanfaatkan pameran ini sebaik-baiknya untuk memperkenalkan karyanya,” kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) DIY Budi Antono.

Ia mengakui saat ini bisnis batu mulia dan perhiasan sedang mengalami kelesuan. Oleh karena itu, pameran ini dapat mengenalkan kembali produk batu alam dan perhiasan agar semakin digemari masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya