SOLOPOS.COM - Pemilik Dibyo Lurik Hand Woven memantau proses pembuatan tenun lurik di galerinya, Krapyak Wetan no.201 Panggungharjo, Sewon, Bantul, Jumat (7/7/2017). (Bernadheta Dian Saraswati/JIBI/Harian Jogja)

Ekonomi kreatif berupa tenun asli Indonesia

Harianjogjacom, JOGJA — Lurik hadir sebagai salah satu tenun asli Indonesia. Keberadaannya dapat ditemukan di beberapa daerah, salah satunya Jogja.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dibyo Lurik Hand Woven merupakan salah satu galeri yang menawarkan beragam motif lurik, mulai dari klasik sampai kontemporer. Jussy Rizal selaku pemilik usaha ini membuka bisnisnya setengah tahun yang lalu. Namun jauh sebelumnya, pria 30 tahun ini sudah delapan tahun menekuni bidang perlurikan milik almarhum kakeknya, Pak Dibyo.

Atas inisiatif mengembangkan usaha dan menangkap peluang yang ada, pria lulusan Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) ini pun memutuskan untuk membuka usaha pembuatan lurik sendiri. Ia bekerja dibantu sang istri Amalia Rahayu untuk mengelola bagian pemasaran.

Di showroomnya di daerah Krapyak Wetan, Bantul, ia memamerkan aneka lurik dengan berbagai warna, motif, dan ukuran. Selain pewarna sintetis, beberapa di antaranya ada yang dibuat menggunakan pewarna alam, misalnya kayu mahoni yang menghasilkan warna coklat susu serta tanaman jolawi dan daun ketepeng yang menghasilkan warna abu-abu.

Jussy mengatakan, proses pembuatan lurik banyak mengeksplorasi dari alam. Seperti untuk pewarnanya atau untuk motifnya. Motif daun sirih misalnya, menghasilkan motif yang memadukan warna hijau dan cokelat. Kemudian ada pula motif hujan gerimis serta motif sulu ringin yang merupakan motif hasil karyanya sendiri.

Bapak satu anak ini mengatakan, motif-motif alam yang ia ciptakan selalu memiliki filosofi. Seperti motif sulu ringin, memiliki makna menjadi pribadi yang kuat dan cantik luar dalam. Sulu adalah akar yang menggantung pada pohon beringin (ringin), yang mana selain mempercantik pohon, juga sebagai penyeimbang batang beringin yang kuat.

Filosofi-filosofi pada setiap motif itu selalu ingin ia pertahankan. Demikian pula dengan kerajinan tenun lurik tradisional yang ingin ia lestarikan. Ia memiliki keinginan kuat untuk menyajikan lurik dari hasil tenun manual atau tradisional dan bukan dari mesin.

“Kalau alat tenun tradisional ada nilai budaya. Itu yang ingin dipertahankan,” katanya pada Harianjogja.com, Jumat (7/7/2017).

Di showroomnya, pengunjung juga dapat melihat proses pembuatan lurik secara langsung. Ada dua alat tenun yang dioperasikan oleh dua perajin. “Kadang masih ada yang nawar, lalu saya perlihatkan prosesnya saja,” lanjut pria yang menjadi salah satu penggagas kain lurik sebagai warisan budaya Jogja ini.

Proses pembuatan lurik memang terbilang lama. Untuk satu perajin rata-rata hanya menghasilkan lima meter kain lurik per hari. Beruntung Jussy memberdayakan sekitar 75 perajin sehingga dalam sebulan ia bisa menjual sampai 5.000 meter kain lurik. Para perajin kebanyakan dari Klaten, Jawa Tengah.

Jussy mengatakan, perajin lurik di Jogja semakin menurun. Oleh karena itu Dibyo Lurik memiliki pasar kesempatan emas untuk menguasai pasar sehingga ia optimistis prospek usahanya ke depan menjanjikan.

Kain lurik dijual mulai dari Rp35.000 sampai Rp65.000 per meter, tergantung pewarna yang digunakan serta ukuran lebar kain. Ada kain berukuran lebar 70 centimeter ada pula 110 cm. Kain-kain itu ia pasarkan ke beberapa daerah, paling banyak Jakarta. Pemasarannya melalui offline dan online. Ada yang memesan untuk pakaian pribadi, seragam paduan suara, ada pula seragam bregodo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya