SOLOPOS.COM - Pengelola kerajinan batok Marem Project, Dwi Cahyono, sedang memproduksi beragam produk mangkuk dari bahan batok kelapa, Jumat (11/8/2017). (Bernadheta Dian Saraswati/JIBI/Harian Jogja)

Ekonomi kreatif memanfaatkan limbah yang ada di sekitar

Harianjogja.com, JOGJA — Berkembangnya bisnis kuliner turut menyeret penghasilan para pengajin batok. Mangkuk dan gelas jadi pesanan yang terus datang silih berganti.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Dwi Cahyono, pengelola Marem Project yang merupakan sebuah industri kerajinan batok skala rumahan, terus kebanjiran order dua tahun terakhir. Ia mengakui, tren kuliner saat ini tidak hanya menyajikan rasa dan aroma, tetapi juga sensasi cara menikmati makanan itu sendiri.

Saat ini, katanya, banyak warung makan kelas pinggiran sampai kelas restoran yang menawarkan sensasi makan menggunakan batok kelapa. Misalnya, soto, sup, dan makanan berkuah lainnya. Ada lagi dawet dan minuman manis yang disajikan menggunakan gelas atau cangkir dari batok.

“Kemarin saya baru saja kirim mangkuk ke Lombok. Di sana untuk restoran juga,” kata Dwi pada Harian Jogja, Jumat (11/8/2017).

Pria muda 21 tahun yang masih duduk di bangku kuliah semester III ini mengakui, batok bisa tampil klasik saat dibentuk menjadi sebuah mangkuk dan produk lainnya. Warna cokelatnya serta bentuknya yang melengkung, mampu memunculkan nilai seni tersendiri.

Bisnis batok kelapa yang ia kelola itu berdiri sejak 1995 dan mulai melejit paska-gempa 2006. Saat itu, pengrajin batok di daerahnya cukup berkembang. Lebih-lebih desanya yang dicanangkan menjadi Desa Wisata Santan Guwosari, membuat para perajin itu semakin tak jauh dari rejekinya.

Pada 2013, usahanya mulai diberi nama Marem Project. Dwi sendiri melanjutkan usaha yang sudah dirintis oleh pamannya. Ia mengakui, peluang untuk kerajinan batok kelapa masih terbuka karena menurutnya kompetitor di Jogja belum terlalu banyak. Perajin yang ada masih konsen mengembangkan kerajinan kayu.

Mahasiswa jurusan Desain Interior ini mendatangkan batok kelapa dari Kulonprogo. Ribuan batok yang datang sudah terbelah dan tinggal diamplas bagian luar dalam. Ada trik tersendiri yang menurutnya menjadi pembeda dengan perajin batok lainnya.

“Finishingnya kami pakai gajih atau lemak kambing yang sudah keras sehingga kalau dipakai untuk makan itu aman. Kita bebas dari bahan kimia dan ramah lingkungan,” tuturnya.

Jumlah produksi mangkuk per hari bisa mencapai 70 buah yang dikerjakan oleh tiga orang karyawan. Ia menjual mangkuk dengan harga Rp15.000 per buah, tetapi jika membeli minimal 50 pieces akan dihitung lebih murah yaitu Rp12.000. Selain itu ia juga melayani pembuatan gelas dan juga gantungan kunci.

Awalnya, Dwi hanya menjual produknya melalui offline tetapi saat ini ia memasang gambar produk-produknya di market place seperti Bukalapak.com dan Tokopedia. Ia mengakui, keunggulan pemasaran melalui online adalah jangkauan luas. “Makanya yang dari luar Jawa itu karena online,” tuturnya.

Dwi menyadari, karena semua produk dikerjakan menggunakan tangan, ia harus jeli untuk melihat bagian mana yang cacat. Cacat sedikit pun akan tetap diganti agar tidak mengecewakan konsumen. “Kualitas tetap diperhitungkan dan kami tetap jaga hubungan baik dengan customer,” kata pria yang membuka usaha di Desa Wisata Santan Guwosari Pajangan, Bantul, Jogja, ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya