SOLOPOS.COM - Mujimin dengan dibantu kerabatnya menganyam gedhek pesanan yang akan dikirim ke Denmark di rumahnya di Dusun Nabin, Desa Sidomulyo, Kecamatan Pengasih, Kulonprogo pada Kamis (24/2/2016). (Sekar Langit Nariswari/JIBI/Harian Jogja)

Ekonomi kreatif berikut memanfaatkan potensi yang ada di sekitar.

Harianjogja.com, KULONPROGO- Awalnya Mujimin, warga Dusun Nabin, Desa Sidomeulyo, Kecamatan Pengasih mulai menganyam bambu karena harus mengolah gelondongan bambunya agar modalnya kembali. Namun, hal ini kemudian menjadi awal mula kisahnya menjadi pengrajin gedhek yang sampai ke Denmark.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Awalnya ia menganyam bambu karena saat itu pohon bambunya yang sudah ditebang batal dibeli.
“Dulu dijanjikan mau dibayar Rp1,2juta tapi batal padahal sudah saya tebang,”kenangnya saat ditemui Kamis (24/3/2016).

Ekspedisi Mudik 2024

Di sisi lain, si pemilik lahan tempat bambunya ditanam tetap meminta pembayaran sewa lahan. Terpaksa keadaan, ia berusaha menganyam bambu tersebut demi membayar tagihannya.

Anyaman pertama dilakukan dengan seadanya karena ia sendiri tak memiliki ketrampilan khusus dalam menganyam gedhek. Namun, dengan ketekunan dan kondisi yang membutuhkan uang akhirnya jadilah lembaran-lembaran gedhek yang menarik dan laku dijual. Padahal, ia sebelumnya punya pemikiran bahwa jika gedhek tersebut tak laku dijual maka ajan digunakan sendiri saja.

Pria yang mengusai 140 motif anyaman bambu ini kini sudah memiliki omset hingga jutaan rupiah per bulannya. Bahkan, geblek bikinannya sudah mencapai pelosok Nusantara dan diekspor ke Malaysia dan Denmark.  Beragam produk yang dihasilkannya yakni lembaran anyaman bambu untuk langit-langit, interior dan eksterior ruangan, gazebo, arena bermain anak, sekat ruangan dan sebagainya.

Sebelumnya ia juga sudah membuat gedhek untuk proyek seperti pembenahan shelter pengungsi erupsi Merapi serta langit-langit salah satu masjid di Lampung. Bentuk anyamannya bermacam-macam antaralain seperti gambir sekerek dan menyan kobar alias kembang pucung atau durno.

Sejauh ini, Mujimin masih setia menggunakan bambu wulung sebagai bahan baku mengingat strukturnya lebih kuat dan lebih cantik saat dianyam. Namun sesekali, ia juga menggunakan bambu apus dan bambu legi seusai dengan permintaan konsumen.

Kini, ia mengambil bambu untuk memenuhi pesanannya dari kebun di sekitarnya kampungnya. Pemasarannya dilakukan melalui akun media sosial dan salah satu blog yang dibuatkan oleh kenalannya.

“Per anyaman, harganya Rp 50.000- Rp 500.000 per m2, tergantung tingkat kesulitan
pembuatan,”jelas ayah dua anak ini. Namun, karena sistemnya masih manual dan hanya dilakukan olehnya dan salah satu kerabat yang membantu maka tak banyak yang bisa diproduksi dalam sehari. Dalam kondisi normal, setiap penganyam hanya mampu menghasilkan anyaman bambu masing-masing 1 m2.

Ia sendiri sampai saat ini masih hidup dengan sangat sederhana. Ketika ditanya mengenai kesulitan yang dihadapi, ia menyebutkan sulitnya mencari SDM yang mampu melakukan kegiatan serupa. Meski pernah beberapa kali mengajari orang lain, pada akhirnya orang tersebut berhenti di tengah proses pembelajaran.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya