SOLOPOS.COM - Presiden Jokowi (kiri) meninjau transportasi massal terintegerasi di Stasiun Dong Zhi Men Beijing, Tiongkok, Kamis (26/3/2015 ). (JIBI/Solopos/Antara/Laily-Setpres)

Ekonomi Indonesia dinilai miris dengan naiknya utang luar negeri ke China-Tiongkok dalam setahun terakhir.

Solopos.com, JAKARTA — Berdasarkan data Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, statistik utang luar negeri (ULN) Indonesia kepada China melonjak hingga 59% dalam kurun waktu satu tahun ini. Hasil tersebut menunjukkan utang ke China mengalami kenaikan signifikan hanya dalam waktu setahun.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kenaikan utang ke China itu signifikan jika dibandingkan ke 4 kreditor lainnya, seperti Bank Dunia, AS, Jepang, dan Jerman. Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDIP, Djenri Keintjem, menuturkan utang tidak bisa anggap selalu merugikan negara. “Selama pemerintah butuh untuk membiayai infrastruktur dan kondisi ekonomi kita lagi bagus, ya no problem,” tuturnya saat dihubungi Bisnis/JIBI, Rabu (23/3/2016).

Djenri menilai pemberian kredit China ke Indonesia tidak selalu melalui pemerintah (G to G). “Itu kan gak semuanya masuk melalui perusahaan negara, ada juga yang dari swasta. Banyak modal dari Cina yang masuk dari sini antara lain bussiness to bussiness, investor ke investor,” ujarnya.

Dia mengambil contoh salah satu kredit China yang diberikan ke Indonesia adalah melalui sistem perbankan. “Contohnya, kredit yang diberikan pemerintah China melalui CDB [China Development Bank] yang membiayai proyek—proyek infrastruktur dan usaha perdagangan lainnya. Itu kan kredit yang diambil oleh bank—bank pelat merah seperti Mandiri, BNI, dan BRI. Kita untung di situ.”

Namun, Djenri mengingatkan jangan sampai China mematikan usaha di Indonesia karena memberi bunga kecil. “Sementara bank di Indonesia mengambil selisih dari bunga tersebut,” tuturnya.

Djenri menuturkan Komisi XI dalam RDP yang digelar bersama Gubenur BI dan Menteri Keuangan, mendorong agar lebih banyak kredit yang dapat diterima untuk biaya pembangunan infrastruktur di Indonesia. “CDB memberikan pinjaman ke Bank di Indonesia dengan bunga yang kecil dan kita untung disitu. Kalau bisa lebih banyak lagi (kredit) yang diberikan ke Indonesia.”

Disinggung mengenai pengembalian utang ke China, Djenri menuturkan bahwa Pemerintah telah menghitung segala konsekuensi yang ada. “Nggak mungkin, kedua pihak tidak mau ada yang dirugikan. Nah pemerintah saat itu bisa menerima syarat—syarat perjanjian yang bisa diterima dengan kondisi ekonomi terburuk. Kalau tidak ada perhitungan seperti itu, bisa-bisa negara ini digadaikan ke asing,” tandasnya.

Pendapat berbeda diungkapkan anggota DPR Fraksi Partai Gerindra, Heri Gunawan. Dia mengaku miris akan kebijakan pemerintahan Jokowi saat ini.

“Hanya ada satu kata: prihatin! Sudah kesekian kali kita mengingatkan pemerintah untuk tidak jor-joran menumpuk utang. Tapi, sepertinya pemerintah punya cara pikir yang berbeda. Kita tidak tahu persis apa yang ada dalam isi kepala pemerintah sekarang ini. Apakah ini kebijakan ekspansi, ataukah kebijakan dari para pemburu rente, sementara kebijakan di dalam negeri dibuat kontraksi,” ujar Heri.

Dia mengatakan naiknya ULN kepada China hingga 59 persen membenarkan dugaan bahwa pemerintah sekarang benar-benar memosisikan dirinya sebagai “pelayan yang baik” bagi negeri tirai bambu itu. “Pertanyaannya mengapa tidak ada penjelasan yang detail. Pemerintah terkesan menutup-nutupi,” kata Heri.

Selama ini, lanjut Heri, banyak kasus ULN kepada China yang misterius seperti pinjaman kepada tiga bank BUMN (Mandiri, BRI, BNI), dan lain-lain. Menurutnya, hingga saat ini masih tidak ada penjelasan yang memuaskan dari pemerintah.

“Saya khawatir, dengan tidak adanya penjelasan yang komprehensif, pas kita bangun besok pagi, semakin menegaskan negara ini sudah tergadai,” cetusnya.

Lebih lanjut, Heri mengungkapkan, dengan posisi seperti ini, negara sedang dihadapkan dengan naiknya rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB). Dia menambahkan hari ini PDB sudah di atas 30 persen, sementara posisi debt service ratio (DSR) terus meningkat di atas 50 persen.

“Artinya, beban utang bangsa ini semakin besar dan berat. Lebih dari setengah pendapatan ekspor hanya habis untuk membayar utang ke asing,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya