SOLOPOS.COM - Ilustrasi indeks harga saham gabungan (JIBI/Bisnis)

Ekonomi Indonesia semester I tahun ini belum membaik. Nikah tukar rupiah yang terpuruk menjadi salah satu indikator.

Solopos.com, JAKARTA — Keputusan Bank Indonesia (BI) yang tetap mempertahankan suku BI rate di level 7,50% mendapat apresiasi. Sikap yang bertentangan dengan keinginan pemerintah Jokowi-JK ini dinilai menunjukkan BI mampu mempertahankan independensinya dari intervensi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Ini menunjukkan bahwa BI bisa menjaga independensinya dari intervensi,” kata Global Market Economist dari Permata Bank, Josua Pardede, dalam Banking Jurnalism Workshop 2015 di Kantor Permata Bank, Jakarta Selatan, Jumat (22/5/2015).

Dalam rapat Dewan Gubernur BI, Selasa (19/5/2015) lalu, diputuskan BI rate tidak diturunkan. Sementara itu, deposit facility rate 5,50% dan lending facility rate 8,00%. Keputusan ini diambil agar inflasi tetap terjaga sesuai target 4+/-1% pada 2015 dan 2016.

Meski terkesan “melawan”, Josua menyebut langkah ini sesuai kondisi makro ekonomi Indonesia yang memang sedang buruk. Hal itu ditandai dengan melemahnya daya beli masyarakat dan rendahnya penyerapan anggaran karena persoalan nomenklatur Kabinet Kerja.

“Sekarang pertumbuhan ekonomi melemah. Kini tergantung realisasi pembangunan infrastruktur seperti janji Jokowi yang bisa menekan biaya logistik. Seperti diketahui, biaya logistik di Indonesia sangat besar, yaitu 24% [dari Produk Domestik Bruto]. Belum lagi soal [tingginya upah] tenaga kerja. Itu membuat produk Indonesia sulit bersaing.”

Josua juga mengkritik langkah pemerintah yang justru tidak langsung memperbaiki kondisi ini. Salah satu kelemahan Indonesia adalah rendahnya produk manufaktur, padahal ekspor manufaktur bisa menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi.

Alih-alih menggenjot produksi manufaktur, Indonesia kini justru ingin bergeser menjadi negara produsen jasa. “Seharusnya manufaktur yang digenjot. Indonesia punya produk art, seperti mebel yang enggak ada di Eropa, atau produk khas yang bisa dijual ke pasar internasional,” katanya.

Sebelumnya, di tengah tingginya inflasi ini, pemerintah justru meminta BI untuk memangkas BI rate. Hal ini diharapkan bisa mendorong turunnya suku bunga kredit bank sehingga bisa memacu perekonomian.

International Monetary Fund (IMF) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa naik 5,2% atau sedikit di atas pencapaian 2014 lalu.

Namun, prediksi pertumbuhan bisa saja tidak tercapai mengingat inflasi April 2015 meningkat (naik 0,36% dibandingkan April 2014). Naiknya inflasi dipicu kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik, dan harga elpiji 12 kg.

Akibatnya, daya beli masyarakat menurun dan mengurangi tingkat konsumsi. Padahal konsumsi rumah tangga masih menjadi bagian terbesar dari konsumsi di Indonesia, melebihi konsumsi pelaku usaha dan pemerintah. Padahal, turunnya BI rate tidak secara otomatis menurunkan suku bunga kredit ikut turun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya