SOLOPOS.COM - Eko Supriyanto (Chrisna Chanis Cara/JIBI/Solopos)

Espos/Chrisna Chanis Cara

Seusai berlatih tari di sebuah ruangan Wisma Seni Taman Budaya Surakarta (TBS), beberapa penari duduk rileks membentuk formasi setengah lingkaran, Sabtu (5/4) malam. Para penari yang sebagian berasal dari Singapura itu kompak mendengarkan arahan seorang laki-laki muda yang duduk di tengah lingkaran. Dia koreografer yang dalam beberapa hari terakhir mengarahkan dan mengajari para penari yang tengah berproses dalam sebuah garapan tari. Sesekali derai tawa terdengar dari dalam ruangan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tepat pukul 23.00 WIB, latihan yang dimulai pada pagi hari itu berakhir. Guratan kelelahan menghiasi wajah penari, begitu juga dengan sang koreografer. Saat Espos menghampiri koreografer itu, wajahnya tampak sayu dengan mata yang memerah. Meski begitu, ia tetap bersahabat. Ia melayani dua orang  perempuan penari yang mengajukan pertanyaan ringan kepadanya dalam bahasa Inggris.
Koreografer muda itu dikenal total dalam berkarya dan bekerja. Baginya, untuk mewujudkan kesuksesan, kerja keras harus dilakukan termasuk dalam dunia tari. Kerja keras pula yang akhirnya melambungkan nama koreografer muda itu ke kancah nasional hingga internasional. Kini, siapa yang tidak kenal Eko Supriyanto. Walaupun masih muda, ia sukses menjejak berbagai panggung seni mancanegara. Namanya semakin meledak saat ia dipercaya menjadi penari latar penyanyi pop Madonna dalam Drowned World Tour 2001.
“Kalau orang bilang sekarang saya sudah sukses, Alhamdulillah, amin. Faktor keberuntungan pasti ada tapi tanpa kerja keras juga tidak mungkin saya bisa sukses. Ketika seseorang bekerja keras saya percaya ada darma yang dipetik,” ujar Eko bertutur kepada Espos.
Seniman kelahiran Kalimantan Selatan, 26 November 1970, namun besar di Magelang ini mengaku kesuksesan yang ia rengkuh merupakan pembuktian terhadap jalan yang ia pilih. Tidak mudah baginya memutuskan pilihan saat orangtua, keluarga dan teman-temannya apatis terhadap dunia seni. Dulu, keluarganya berharap ia menjelma menjadi eksekutif muda yang bekerja di bank atau menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
“Saya berasal dari keluarga tidak mampu, orangtua saya ingin anaknya hidup mapan menjadi PNS atau lainnya. Ketika saya memilih menjadi penari, keluarga mencibir. Saat SMA teman-teman juga mengolok-olok saya banci karena menari. Menurut mereka, laki-laki itu pantasnya bergulat. Waktu itu sempat jadi beban juga,” katanya.
Namun keinginan hatinya tidak bisa dibohongi. Hasratnya berkesenian begitu meletup-letup. Hal itu yang membuat ia mantap menjadi seniman tari. Selepas SMA, ia melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo, sekarang ISI Solo. Saat masih kuliah itulah ia banyak berproses dan belajar hingga kepada seniman tari di luar kampus. Bakat dan darah seni yang ia warisi dari kakeknya yang juga seniman tari membuat bapak dua anak ini mudah menguasai dan menyerap ilmu dari guru-gurunya khususnya tari tradisi.
Meski begitu, ia tidak ingin terkungkung hanya pada tari tradisi. Ia membuka diri dan menyerap perkembangan dunia luar dengan mempelajari tari kontemporer. “Saya belajar tari dan silat sejak usia enam tahun dari kakek. Paman juga mengajari saya. Saya sadar saya bisa dua-duanya (menari dan bela diri-red) makanya olokan teman-teman saya abaikan. Sekarang saya tahu, tari itu dunia saya, bukan lagi hobi tapi profesi saya seniman tari. Dari tari saya juga bisa menghidupi keluarga,” katanya.
Peraih gelar Master of Fine Arts (MFA) dari UCLA California termasuk seniman yang aktif menelurkan karya di antaranya Lah, Leleh, Opera Diponegoro, Bedhaya Kertas dan Without Body. Dunia pun seakan menyambut karya-karyanya. Ia banyak terlibat dalam berbagai festival tari mulai Indonesian Dance Festival (IDF) hingga American Dance Festival (ADF), juga Asia Pasific Performance Exchange (Appex). Baginya, tari sangat memberi arti. Ketika menari, ia mencoba ilustrasikan diri menjadi seberkas cahaya, angin, segumpal asa, harapan, impian dan intrik masa depan.
“Ketika sudah menari, di stage semua kumpul jadi satu dan itu di luar kesadaran, saya ekspresikan tubuh dengan total. Saya menikmati dunia tari, saya ingin terus berkarya dan diakui,” katanya.
Kini, suami Astri Kusuma Wardani ini tengah mempersiapkan karya terbarunya berjudul Anweisha, berkolaborasi dengan Maya Dance Theatre Singapura. “Kali ini saya bekerja sama dengan Kavitha Krishnan sebagai artistic director. 2010 Lalu saya juga bekerja sama dengan dia untuk karya Seeking Sita,”  imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya