SOLOPOS.COM - Ivan Indra Kesuma (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Pada Rabu 30 November 2022, Koran Solopos memuat headline halaman 1 dengan judul Ramai-Ramai Wadul Gibran. Tentu bukan tanpa sebab khusus sehingga Solopos memilih judul itu untuk sebuah bertita di bagian headline.

Wadul dalam bahasa Jawa berarti mengadu atau berkeluh kesah. Judul itu adalah impresi tentang banyak orang yang mengadukan masalah apa saja—bukan hanya masalah pemerintahan, bukan hanya masalah pemerintahan di Kota Solo—kepada Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pengaduan yang ditelaah Solopos itu adalah pengaduan yang bisa dipantau publik secara langsung karena disampaikan di Twitter dan ditautkan dengan akun Twitter Gibran. Solopos menelaah fenomena itu bukan untuk memuji dan juga bukan untuk mencela Gibran.

Solopos sekadar memotret fenomena yang terjadi serta sejauh mana dampak dan efek dari pernyataan seorang Wali Kota Solo—yang sekaligus anak Presiden Joko Widodo—itu atas semua masalah yang dikemukakan dan diadukan oleh orang-orang melalui Twitter.

Keberadaan Gibran sebagai Wali Kota Solo sekaligus anak Presiden Joko Widodo pasti berbeda dibandingkan dengan status wali kota atau bupati yang tak punya hubungan kekeluargaan dengan presiden.

Dalam perspektif masyarakat Kota Solo, keberadaan Gibran sebagai wali kota diharapkan membawa perubahan signifikan dalam tatanan kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan tatanan sektor lainnya. Pembangunan fisik dan pembangunan sumber daya manusia harus lebih baik.

Perwajahan halaman 1 Koran Solopos yang berjudul Ramai-Ramai Wadul Gibran itu kemudian muncul di akun Twitter milik Gibran, yaitu @gibran_tweet. Gibran mengunggah komentar berupa kata ”wadul”. Unggahan itu direspons beragam komentar dari warganet. Intertaksi Gibran dengan banyak orang dalam konteks ”wadul”itu memunculkan beragam perspektif.

Pernyataan maupun langkah Gibran ketika merespons sekaligus mengambil keputusan atas aduan banyak orang itu memang menarik untuk disimak dan ditelaah. Disimak dan ditelaah dalam konteks komunikasi kepala daerah dengan warga sekaligus model respons dan pengambilan keputusan yang dicerminkan pada tanggapan atau unggahan di media sosial.

Salah satu contoh adalah saat Gibran—yang Wali Kota Solo itu—menanggapi keluhan warganet tentang aktivitas tambang pasir dan batu ilegal di Kabupaten Klaten—bukan di Kota Solo. Akun Twitter @amr715882 pada Minggu (27/11/2022) mengunggah cuitan yang dikutip secara verbatim berikut ini.

Mas..sampekan ke pak @jokowi untuk menindak tambang pasir ilegal yg ada di kab.klaten, lebih dari 20 titik lokasi..tp dibiarkan..@ListyoSigitP @ganjarpranowo. Keluhan yang diunggah di Twitter dan ditautkan ke akun @gibran_tweet itu mendapat respons—dikutip secara verbatim—”Ya pak. Ini bupati juga beberapa kali mengeluh ke saya. Backingan nya ngeri.”

Efeknya adalah pertambangan pasir dan batu yang menggunakan alat berat di lereng Gunung Merapi di wilayah Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, berhenti sejak Senin (28/11/2022). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral merespons dengan mengirim tim kecil yang mendatangi pertambangan pasir dan batu di Kabupaten Klaten.

Pengecekan yang dilakukan bersama tim dari Polres Klaten itu fokus di wilayah Kecamatan Kemalang. Dua lokasi pertambangan pasir dan batu di kecamatan tersebut didatangi tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bersama tim dari Polres Klaten.

Melembaga

Kejadian itu seolah-olah menunjukkan apa yang dikatakan atau dilakukan oleh Gibran pasti akan ada efek dan dampaknya. Gibran ibarat magnet yang mempunyai kekuatan menggerakkan orang lain, dalam hal ini otoritas pemerintah, stakeholders, maupun masyarakat. Itu bukan hanya tentang persoalan di Kota Solo yang memang menjadi wewenang sebagai wali kota, tetapi juga di wilayah luar Kota Solo.

Efek Gibran terasa begitu kuat. Di satu sisi bisa membuat keder dan makin menjauh. Di sisi yang lain justru menarik untuk lebih mendekat. Dosen Administrasi Negara di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret, Didik G. Suharto, mengatakan fenomena Gibran effect atau efek Gibran yang menjadi tujuan banyak orang berkeluh kesah Soloraya bisa meluas.

Respons dan tanggapan Gibran relatif efektif menggerakkan dan menjadi solusi atas keluhan yang disampaikan. Fenomena ini membuat Kota Solo menjadi pusat perhatian pemerintah pusat dan banyak pemangku kepentongan.

Kemungkinan semakin meluasnya spektrum efek Gibran tentu membuat Wali Kota Solo itu semakin dikenal publik. Ia dikenal sebagai Wali Kota Solo yang dipercaya publik sebagai figur yang bisa membantu menyelesaikan berbagai persoalan warga, bahkan warga yang di luar Kota Solo.

Tentu selain—meluangkan waktu menanggapi dan merespons—menyelesaikan berbagai persoalan warga di luar Kota Solo, ia juga harus menyelesaikan sejumlah program prioritas di Kota Solo yang menjadi janji saat ia berkampanye dalam pemilihan wali Kota Solo.

Beberapa proyek prioritas itu, antara lain, pembangunan Islamic center, pembangunan jalan rel melayang di simpang tujuh Joglo, revitalisasi Solo Technopark, revitalisasi kawasan Ngarsapura dan koridor Jl. Jenderal Gatot Subroto, revitalisasi Taman Satwa Taru Jurug, dan proyek-proyek lainnya.

Tahun depan bisa jadi efek Gibran akan lebih berdampak dengan makin banyaknya acara maupun aktivitas lainnya di Kota Solo. Hal ini sejalan dengan slogan Kota Solo sebagai kota meetings, incentives, conferences, and exhibitions atau MICE. Harapan baiknya adalah efek Gibran tidak hanya terjadi saat ia masih menjabat wali kota, tetapi melembaga menjadi budaya kepala daerah memahami dan merespons kebutuhan publik.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 5 Desember 2022. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya