SOLOPOS.COM - Sri Paduka Paku Alam IX (kanan) (JIBI/Harian Jogja/Gigih M. Hanafi)

Sri Paduka Paku Alam IX (kanan) (JIBI/Harian Jogja/Gigih M. Hanafi)

Ada yang berbeda pada peringatan Kadipaten Pakualam tahun ini. Selain merayakan eksistensi kerajaan yang berdiri dua abad silam itu, peringatan Dwi Abad Kadipaten Pakualaman (1812-2012) tahun ini, menjadi momentum spesial, yakni, meneguhkan komitmen dwi tunggal yang selama ini berjalan di Bumi Mataram selama 200 tahun lamanya.

Promosi Komeng The Phenomenon, Diserbu Jutaan Pemilih Anomali

Deretan dinding tebal setinggi kira-kira tiga meter itu mengelilingi istana Puro Pakualaman. Dinding tebal tersebut seakan memberi perbedaan antara wilayah bangsawan dan masyarakat.

Meski muncul kesan feodalisme kalangan bangsawan, realitanya saat ini tidak begitu nampak. Warga biasa pun bisa memasuki istana Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Paku Alam IX dan kerabatnya. Sayangnya “keterbukaan” itu belum bisa dimanfaatkan masyarakat untuk mengetahui sejarah kerajaan tersebut.

Sekretaris Panitia peringatan Dwi Abad Kadipaten Pakualaman Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Kusumoparastho menyebut, tidak banyak referensi yang memaparkan sejarah lahirnya Puro Pakualaman. Minimnya referensi tersebut seringkali memunculkan kesalahpahaman bagi sebagian masyarakat.

Sebagai contoh, keberadaan Puro Pakualaman di mana Pangeran Notokusumo putra dari Sultan Hamengku Buwono I dengan Selir Srenggorowati, dinilai sebagai pecahan dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Contoh lain, jelas Kusumoparastho, muncul anggapan Pangeran Notokusumo saat itu memiliki ambisi untuk menjadi raja, sehingga minimbulkan perpecahan. Dijelaskan dia, saat itu memang ada upaya dari Inggris untuk memecah belah Kraton Ngayogyakarta. Lahirnya perjanjian Tuntang pada 18 September 1811, seolah-olah menegaskan adanya kekuasaan di dalam kekuasaan.

Pada 22 Juni 1812 silam, Pangeran Notokusumo diangkat dan dinobatkan oleh Gubernur-Jenderal Sir Thomas Raffles (Gubernur Jendral Britania Raya saat itu) sebagai pangeran

merdiko, yakni, pangeran yang merdeka dari kekuasaan Kraton Ngayogyakarta. Pangeran Notokusumo pun mendapat gelar sebagai KGPA Paku Alam I.

“Anggapan Pangeran Notokusumo berambisi untuk berkuasa dan merebut kekuasaan itu tidak benar. Pangeran Notokusumo tidak memiliki niat seperti itu,” bantah Kusumoparastho saat menggelar jumpa pers memperingati Dwi Abad Puro Pakualam, Minggu (17/6).

Untuk meluruskan sejarah-sejarah yang selama ini simpang siur, katanya, Peringatan Dua Abad Puro Pakualam menjadi momentum untuk menggelar sarasehan Hadeging Projo. Sebuah seminar yang akan mengupas sejarah munculnya Puro Pakualam, peran Paku Alam yang selama ini tidak diketahui masyarakat. “Pada Sarasehan Hadeging Projo nanti, semua akan dikupas dan hasilnya akan dibukukan untuk meluruskan sejarah, posisi dan peran-perang yang

dilakukan Paku Alam selama ini,” jelas Ketua Hudana atau Paguyuban Trah Pura Pakualaman itu.

Setahun Berkuasa Tanpa Tanah, Kusumoparastho mengatakan meski sudah memangku gelar sebagai KGPA Paku Alam I, Pangeran Notokusumo tidak memiliki tanah kekuasaan. Tanah kekuasaan baru dimiliki, lanjutnya, satu tahun setelah memimpin Puro Pakualam. Proses kepemilikan tanah yang saat ini dikenal sebagai Pakualaman Ground sendiri diberikan oleh Sultan Hamengku Buwono I di mana daerah kekuasaannya di wilayah Kulonprogo.

“Awalnya, oleh Inggris Pangeran Notokusumo akan diberikan tanah di Grobogan dekat Kraton Surakarta. Tapi, KGPA Paku Alam I menolak dan memilih berdiam di wilayah Ngayogyakarta. Dengan tujuan, agar bisa tetap “membentengi” Ngayogyakarta dan menghindari upaya adu domba. Sebab, sejatinya antara Kadipaten Pakualam dan Kraton Ngayogyakarta merupakan satu kesatuan, dwi tunggal,” jelas Kusumoparastho.

Ditambahkan salah satu kerabat Puro Pakualaman, Prof. Sutaryo, selama ini peran dan sepakterjang Paku Alam belum banyak diketahui masyarakat. Padahal, lanjutnya, Paku Alam memiliki banyak peranan penting dalam proses dan perkembangannya selama ini. Di bidang pendidikan, misalnya, keberadaan Taman Siswo dan Budi Utomo tidak terlepas dari adanya peran Paku Alam.

Begitu juga dengan peran Paku Alam dalam kebudayaan di mana mampu mensinergikan kebudayaan Ngayogyakarto

dengan Kraton Surakarta. Yang tidak kalah pentingnya, tambah Sutaryo, adalah peran Paku Alam pada masa kemerdekaan dulu. “Paku Alam berperan juga melindungi Bung Karno dan Bung Hatta. Bung Karno tidak tinggal di Gedung Agung, tetapi di Puro Pakualam. Bung Karno saat itu juga melakukan pertemuan di Ruang Parangkarso ini,” kata Sutaryo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya