SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Satu komunitas yang menamakan dirinya Forum Sastra Surakarta, pada pertengahan tahun 2000 yang lalu menyelenggarakan acara yang dalam dekorasinya diberi judul: ‘Thukul, Pulanglah!’ Siapakah Thukul? Dia adalah salah satu anak negri ini yang ikut hilang secara misterius bersama dengan banyaknya orang hilang yang terjadi di tahun 1997. Dimanakah dia? Ada yang bilang, ia bersembunyi di Jerman, atau di Belanda atau di Australia. Tetapi ada juga yang bilang ia disekap di kepulauan Seribu.

Thukul masuk dalam daftar hitam orang yang harus dilenyapkan karena ketajaman kata-katanya dalam mengkritik penguasa. Dalam salah satu poisi yang diberi judul ‘Tikus’ ia menulis demikian:”…seekor tikus mampus dilindas kendaraan, tergeletak di tengah jalan, kaki dan ekor terpisah dari badan, darah dan bangkainya menguap bersama panas aspal hitam, siapa suka melihat manusia dibunuh semena-mena, ususnya terburai tangannya terkulai, seperti tikus selokan, mampus, digebuk, dibuang di jalan, kekuasaan sering jauh lebih ganas ketimbang harimau hutan yang buas, korbannya berjatuhan seperti tikus-tikus, kadang tak berkubur, tak tercatat, seperti tikus dilindas…” (Tikus, 6 Januari 1997)

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sampai hari ini Thukul belum kembali dan tak ada yang tahu dimana rimbanya. Apakah perjuangan Thukul berarti selesai? Tidak! Kepergian Thukul justru membangkitkan semangat banyak orang khususnya istrinya yaitu Si Pon dan kedua anaknya yang bernama Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah. Mereka semua berjanji untuk meneruskan perjuangan suami dan ayah mereka.

Dalam suatu wawancara dengan Kontras yang dilakukan di Jakarta, si Pon mengatakan, “Saya tetap menanti agar suami saya suatu hari nanti bisa kembali. Tetapi menanti bukan berarti menunggu berpangku tangan berongkang kaki dan bersedih hati. Menanti berarti
terus melanjutkan kegigihannya untuk memberontak dan melawan ketidakadilan negeri ini.”

Hari Kamis lalu, sehari setelah Hari Kebangkitan Nasional, umat Kristiani merayakan Kenaikan Tuhan. Kita mengenangkan peristiwa ‘perpisahan’, saat Yesus ‘meninggalkan’ umatNya. Ia naik ke surga. Apa artinya ini? Pertama-tama harus disadari bahwa Yesus naik ke
surga bukan demi kepentingan Dia sendiri melainkan demi kepentingan para murid.

Ia bersabda, “Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi” (Yoh.16: 7a). Sekali lagi ‘lebih berguna bagi kamu’. Apa gunanya? Kegunaannya adalah bahwa kepergian Tuhan berarti pendewasaan bagi para murid. Kepergian Tuhan membuat kita mandiri dan karena itu  menandai suatu era baru.

Dengan kuasaNya kita dipercaya, untuk bekerja menjadi saksi dan meneruskan apa yang pernah diajarkan Tuhan. Inilah tugas yang sekarang diserahkan kepada kita, seperti dipesankan Tuhan. “Kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi…” Dengan kata lain kita dijadikan duta dan saksi keselamatan. Secara manusiawi ternyata
memang kita hanya bisa bertumbuh semakin matang dan dewasa melalui proses perpisahan-perpisahan yang kita alami. Seorang bayi untuk bisatumbuh menjadi anak harus dipisahkan dari tali ari-arinya.

Pada saat itu si bayi menangis kesakitan, tapi itulah tangisan pendewasaan. Tak terbayangkan, jika karena kasihan lalu tali ari-ari bayi dibiarkan dan tak pernah dipotong. Ini akan sangat merepotkan. Setelah bayi menjadi anak suatu saat ia juga harus disapih, dipisahkan dari susu ibunya. Biasanya anak juga berontak, diganti susu sapi nggak mau, maunya susu mami. Namun demikian si mami akan sekuat tenaga berusaha menyapihnya, bukan karena ia tidak mau lagi menyusui tetapi supaya anaknya bertumbuh menjadi
remaja dan pemuda. Selanjutnya seorang pemuda juga harus meninggalkan bapak-ibunya untuk membangun keluarga baru.

Demikian seterusnya, kemajuan hidup ini ditandai dengan perpisahan dan perpisahan. Sekali lagi, dari contoh ini semakin jelas bahwa perpisahan berarti pendewasaan. Yesus pergi supaya kita dewasa dan siap mengerjakan apa yang sebelumnya dikerjakan Tuhan. Ia datang ke dunia membawa misi keselamatan dan kini misi itu diserahkan dan dipercayakan kepada para muridNya.

“Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu” (Yoh 20:21) Inilah pesan wasiat yang diamanatkan kepada
para murid sebelum Ia terangkat ke Surga. Suatu pesan yang sangat mendesak dan relevan. Sang Penyelamat kini naik ke surga dan bumi yang ditinggalkan masih mendambakan keselamatanNya.

Kitalah yang kini diutus meneruskan karya itu. “…Pergilah dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.” Inilah alasan untuk apa kita hidup, yaitu menjadi saksi kebaikan dan duta keselamatan, sehingga langitpun bersuka
cita dan bumi bersorak-sorai. Marilah kita pergi dengan menggenggam janji, “Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman.” Bersama Dia kita bisa!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya