SOLOPOS.COM - Pekerja tengah menyelesaikan pembuatan dupa di Sewu, Jebres, Solo. (JIBI/SOLOPOS/Indah Septiyaning W)

Pekerja tengah menyelesaikan pembuatan dupa di Sewu, Jebres, Solo. (JIBI/SOLOPOS/Indah Septiyaning W)

Mata Mulyadi dengan seksama memperhatikan para pekerjanya yang tengah melinting dupa atau hio, Rabu (6/2/2013).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dengan teliti, Mulyadi mengecek setiap lintingan hio yang tengah dikerjakan para pekerjanya. Ia sangat detail memperhatikan kualitas hio produksinya. Bagi masyarakat Tionghoa, dupa atau hio selalu digunakan dalam setiap ritual sembahyang.

Hio artinya harum. Yang dimaksud harum adalah dupa yaitu bahan pembakar yang dapat mengeluarkan asap berbau sedap atau harum. Menjelang Tahun Baru Imlek, kesibukan Mulyadi bertambah. Sebab pesanan hio untuk keperluan perayaan Imlek meningkat, meski tak signifikan.

Produksi yang biasanya sehari hanya dua hingga tiga kilogram, kini naik menjadi empat kilogram per harinya. Dibantu dengan sepuluh pekerjanya, Mulyadi terus memproduksi hio secara manual.

Produksi hio manual dengan cara dilinting. Hio yang produksi pun terbagi menjadi tiga jenis yakni hio tanpa biting, hio dengan biting dan model tumpeng. Produksi hio buatannya tak hanya beredar di Solo. Namun juga melayani pesanan dari kota-kota besar di Pulau Jawa.

Mulyadi mengaku permintaan tahun ini untuk Jakarta mengalami penurunan akibatnya banjir yang melanda Ibu Kota beberapa waktu lalu.

”Biasanya pesanan dari Jakarta cukup signifikan. Tapi kali ini turun karena warga di sana tengah sibuk membersihkan rumah akibat banjir yang melanda wilayah Jakarta beberapa waktu lalu,” ujarnya ketika dijumpai Solopos.com di kediamannya di Sewu, Jebres, Rabu.

Meski mengalami lonjakan permintaan, penjualan hio tahun ini tak seperti di tahun-tahun sebelumnya. Penjualan turun lima hingga sepuluh persen dari tahun lalu. Masuknya hio impor membuat hio lokal kalah bersaing hingga berdampak pada omzet penjualannya.

”Di pasaran saat ini banyak dupa impor. Akibatnya keberadaan dupa lokal pun terpinggirkan,” katanya.

Selain banyak beredar hio impor di pasaran, ia menambahkan tren Imlek yang telah bergeser juga turut mempengaruhi permintaan. Perayaan Imlek saat ini banyak bergeser dengan acara makan bersama dibanding dengan menggelar sembahyang di rumah. Sembahyang Konghocu pun telah menurun drastis.

”Masyarakat Tionghoa saat ini sedikit yang memiliki meja altar untuk mendoakan leluhurnya di kediamannya. Kini perayaan Imlek lebih banyak dengan kumpul bersama dan makan di rumah atau restoran,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya