SOLOPOS.COM - Tono Indrayanto (FOTO: Adib Muttaqin Asfar/JIBI/SOLOPOS)

Santri sebuah TPA di Solo sedang mengikuti sebuah outbound di Balekambang, Sabtu (14/7/2012) pagi. Masih banyak masyarakat yang belum memahami outbound. (FOTO: Adib Muttaqin Asfar/JIBI/SOLOPOS)

Tak selamanya mahasiswa pencinta alam (mapala) harus beraksi dengan hutan, gunung dan gua. Di antara mereka ada juga yang memilih terjun dalam dunia pelatihan.

Promosi Direktur BRI Tinjau Operasional Layanan Libur Lebaran, Ini Hasilnya

Sekilas keduanya memang sangat berbeda. Pecinta alam identik dengan tantangan fisik di alam bebas, sedangkan pelatihan cenderung dekat dengan dunia pendidikan yang serba formal. Namun para pencinta alam punya modal untuk terjun di dunia pelatihan, khususnya pelatihan outdoor atau outbound. “Banyak anak mapala yang bisa jadi fasilitator tapi kemampuannya perlu digosok,” kata Tono Indrayanto alias Tobang, mantan aktivis Mahasiswa Muslim Pecinta Alam (Malimpa) UMS yang kini dikenal sebagai salah satu fasilitator outbound di Soloraya, Sabtu (14/7).

Nama Tobang dikenal di dunia pelatihan sejak bergabung dengan SM Enterprise, provider pelatihan yang didirikan oleh dr Andri Putranto. Namun prosesnya menjadi seorang fasilitator sudah dimulai sejak lama, saat masih tercatat sebagai mahasiswa Akuntansi UMS pada 2000 lalu. Karena dulu pernah jadi pentolan mapala, dia kenal dengan banyak anak mapala lainnya, termasuk dari UI. Kebetulan ada anak mapala UI yang mendirikan jasa operator outbound di Jakarta. Mereka pun mengajak rekan-rekannya di Solo, termasuk Tobang, untuk bergabung. “Biasanya anak mapala itu ngabisin duit, ini kami diajak untuk cari duit.”

Seusai lulus pada 2004, Tobang sempat merantau ke Jakarta untuk bekerja meskipun tidak lama kemudian kembali ke Solo. Perkenalannya dengan beberapa senior di SM Enterprise membuatnya ditarik untuk bergabung dengan lembaga tersebut. “Sebelumnya sudah kenal lama dengan Pak Aji [dosen Psikologi UMS], terus diajak gabung.” Begitulah akhirnya hingga Tobang menjadi fasilitator hingga kini.

Meskipun latar belakang pendidikannya bukan Psikologi, Tobang sangat percaya diri. Ini tak lepas dari jam terbangnya yang sangat lama di dunia pelatihan selama bertahun-tahun bersama para seniornya. Lama-lama Tobang pun semakin dikenal di dunia outbound bahkan termasuk yang besertifikasi. Bagi Tobang, sertifikasi ini penting untuk mengembangkan profesinya.

Makin dikenal orang, makin banyak pula kliennya. Kini Tobang memiliki tim sendiri yang bekerja di bawah koordinasinya. Ada empat orang dalam timnya. Biasanya mereka bekerja bersama, sering juga membentuk tim sendiri jika job sedang banyak. “Kalau job sedang banyak, saya split mereka satu-satu. Mereka kan punya kemampuan untuk jadi fasilitator, jadi mereka tinggal cari tim sendiri,” terang pemuda asal Banyuwangi ini.

Kini sudah ada berbagai lembaga atau resor yang sudah langganan memakai jasa Tobang dan timnya, seperti Hotel Indah Palace, Lorin Hotel, Lawu Resort dan Kampung Pinus Sarangan. Kadang-kadang ada klien yang mengundang Tobang secara pribadi untuk mengisi pelatihan bersama dengan sejumlah trainer lainnya. Saking banyaknya job pelatihan, sampai-sampai Tobang tidak sempat mencari job lainnya. “Alhamdulillah saat ini kami lebih banyak dicari, sampai kami enggak sempat mencari.”

 

Pengalaman Organisasi

Tobang bukan satu-satunya alumnus mapala yang kini mantap menjadi seorang fasilitator. Dari Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS (FSSR), ada satu alumnusnya yang bertahun-tahun hidup di dunia pelatihan. Kini dia memiliki lembaga pelatihan sendiri yang punya spesialisasi di bidang outbound.

“Saya sudah lama menggarap outbond. Sejak 2000 saya mulai membentuk Langit Biru Indonesia, 2002 kami mulai serius,” kata Anas Kamaludin, pemilik dan pendiri Langit Biru Indonesia, Minggu (15/7).

Seperti Tobang, Anas juga bukan lulusan Psikologi. Kariernya dalam dunia outbound sebenarnya sudah dirintis sejak masa kuliah di Deskomvis FSSR UNS. Saat itu laki-laki asal Jepara ini juga aktif di Sentraya Bhuana, Mapala FSSR UNS, sehingga punya banyak kesempatan untuk melakukan kegiatan outdoor. “Awalnya dari hobi. Karena saat itu saya senang main ke mana-mana, suka petualangan, akhirnya muncul keinginan untuk belajar.”

Awalnya memang tidak mudah. Pada tahun-tahun tersebut outbound belum banyak dikenal orang, termasuk di Solo. Karena itu belum ada tradisi untuk menggunakan jasa lembaga tertentu untuk melakukan outbond. Namun Anas tetap bertahan. Sambil belajar, dibentuklah lembaga provider outbound-nya tersebut dengan merekrut rekan-rekannya. Ada seniornya di FSSR, ada pula orang-orang yang pernah aktif di berbagai organisasi kampus. Seiring dengan bertambahnya job pelatihan, Anas mendaftarkan lembaganya sebagai badan usaha resmi berbentuk CV pada 2007.

Kini dengan lima orang sebagai tim inti, Langit Biru menjangkau ratusan klien di Soloraya. Mereka berasal dari berbagai latar belakang usia mulai PAUD, SD/MI, SMP, SMA, organisasi mahasiswa, ormas, pegawai kantor pemerintahan hingga korporasi.

Dengan banyaknya job dari waktu ke waktu, Anas merekrut orang-orang ke dalam timnya. Lembaganya sering menjadi tempat magang para pelajar atau mahasiswa yang ingin belajar jadi fasilitator. “Yang jelas mereka punya pengalaman organisasi, entah mapala, pramuka dan sebagainya,” ujar Anas.

Pertimbangannya adalah para alumnus organisasi sudah terbiasa untuk berkomunikasi dengan banyak orang. “Kalau tidak ingin merangkul orang, ya tidak mungkin jadi fasilitator.”

Tono Indrayanto (FOTO: Adib Muttaqin Asfar/JIBI/SOLOPOS)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya