SOLOPOS.COM - Tampak depan rumah milik Yusuf, 75, salah satu warga kelurahan Sudiroprajan. (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati).

Solopos.com, SOLO—Tidak seperti kelenteng Tien Kok Sie di Pasar Gede Solo, rumah Tionghoa kuno yang ada di Kelurahan Sudiroprajan kini, sebenarnya sudah banyak berubah. Beberapa rumah tua di kampung yang dikenal sebagai tempat tinggal peranakan China itu banyak direnovasi.

Informasi yang diterima Solopos.com, Jumat (20/1/2023), beberapa rumah juga sudah tidak ditempati. Beberapa rumah memang dibiarkan kosong agar burung walet mau bersarang di sana. Selepas itu sarang burung walet dipanen dan dijual

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Namun, Solopos.com berhasil menyambangi satu rumah milik warga Sudiroprajan, Yusuf, 75, salah serang warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Kelurahan Sudiroprajan bercerita bahwa rumahnya sudah ia tinggali sejak 1955 bersama ayahnya.

Ketika ditanya nama Tionghoanya, ia lupa, sebagaimana ia juga tidak ingat persis tahun berapa rumahnya itu dibangun.

“Wah saya tidak ingat, wong saya tahun 55 sudah di sini. Mungkin ya [dibuat] tahun 1920 an. Soalnya pakde saya itu [di sini] usaha jamu sebelum ada Jamu Cap Djago,” kata dia. 

Jamu yang dimaksud adalah milik orang Tionghoa bernama Poa Tjong Kwan didirikan pada 1918. Ada kemungkinan rumah itu sudah ada bahkan di era pemerintahan Hindia Belanda.

Ini selaras dengan kebijakan pemerintahan Hindia Belanda yang waktu itu menginginkan pengelompokan permukiman warga berdasar etnis. Sudiroprajan menjadi salah satunya. Tempat itu dikhususkan untuk keturunan Tionghoa. Alasannya jelas untuk mencegah adanya perlawanan dengan strategi politik pecah belah.

Lalu pada 1965 keluarganya merenovasi ulang rumahnya. Semula keseluruhan rumahnya terbuat dari kayu. Semenjak renovasi hampir keseluruhan sudah menjadi tembok. Ia mengaku memang merenovasi rumahnya karena kebutuhan.

“Tahun 65 itu direnovasi kan karena udah banyak yang gapuk [keropos],” kata dia.

Bahan bangunan pada waktu itu, tidak sama seperti saat ini. Campuran dari dinding rumahnya pun masih dari pasir, kapur, sedikit campuran semen, dan batu bata. “Ini [dinding dan tiang] tanpa besi. Tapi ini pakai batu bata yang kuno, makanya panjang. Kalau sekarang kan batu bata makin lama makin kecil. Batanya masih seperti Benteng Vastenburg,” kata dia.

Dia juga menunjukan dinding di ruang garasi. Nampak ruangan yang berisi mobil itu sudah mulai terkelupas. Namun, masih ada tembok yang baik-baik saja, hal itu karena sering terkena panas. Sedangkan yang tidak terkena matahari malah rontok.

“Ini tembok yang kena panas malah masih bagus, tapi itu ada bagian yang tidak kena panas malah sudah rontok,” kata dia.

Meski sudah terlihat seperti bangunan modern, bukan berarti dia tidak mau mempertahankan interior lama. Dia memutuskan merenovasi rumah dan mengikuti gaya masa itu.

“Soalnya kan dulu [renovasi 1965] konsep bangunan modern yang pakai etnik kan belum ada. Jadi dulu mengikuti perkembangan saja,” jelas dia.

Rumah Yusuf masih ada yang terbuat dari kayu jati. Terutama bagian depan lantai dua. Untuk naik harus melewati lorong dan tangga yang cukup sempit. Kini di lantai dua digunakan untuk gudang dan barang-barang yang tidak terpakai. “Lantai dua dulunya buat kamar. Disekat-sekat,” katanya.

Tidak ada tempat khusus untuk ibadah. Sedangkan altar yang biasanya digunakan untuk berdoa berada di lantai dua, atau lebih tepatnya sudah disimpan di gudang dan tidak dipakai lagi. Altar itu berdebu dan banyak lamad. Lalu tepat di samping ada meja cukup panjang. “Itu meja dulu buat jualan,” katanya. 

Memang, Yusuf mengatakan sudah sejak lama keluarganya tidak lagi berdoa menggunakan altar. “Kita berdoa langsung kepada Tuhan,” katanya. Anak keturunanya, termasuk dia, sudah tidak lagi memegang kepercayaan Konghucu, melainkan beberapa sudah berpindah Katolik atau Kristen Protestan. 

Namun, dia mengaku masih senang mempertahankan budaya, seperti perayaan Imlek kali ini. Selama perayaan Imlek, keluarganya turut membuat kue keranjang untuk dinikmati bersama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya