SOLOPOS.COM - Ilustrasi kampanye (Solopos-Whisnupaksa Kridhangkara)

Solopos.com, SOLO — Sinisme politik selalu mewarnai polemik Pilpres. Jika pada Pilpres 2014 lalu muncul istilah cebong vs kampret, kini menjelang pilpres 2024 muncul istilah baru, yaitu celeng vs banteng.

Perbedaannya, cebong vs kampret merujuk dua kubu berbeda yang sedang bersaing. Sementara celeng vs banteng muncul di tengah polemik internal PDIP.
Sebutan celeng hingga bebek muncul sebagai buntut deklarasi dukungan beberapa simpatisan PDIP kepada Ganjar Pranowo untuk maju sebagai capres pada Pilpres 2024. Istilah ini muncul dari pernyataan Ketua DPD PDIP Jateng, Bambang Wuryanto. Dia menyebut pendukung Ganjar bukan termasuk banteng, melainkan celeng.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Hal itu pun ditanggapi oleh para simpatisan, termasuk Wakil Ketua DPC PDIP Purworejo, Albertus Sumbogo, dengan perlawanan. Sebutan celeng justru membakar semangat mereka melakukan perlawanan untuk berjuang mempertahankan kebenaran nurani yang diyakini.

“Teman-teman membuat satire atau meme itu selain tersinggung, prihatin tapi ada semangat perlawanan. Meskipun dianggap celeng tetap harus berjuang untuk kebenaran dan nuraninya,” terangnya seperti dilansir Detik.com, Selasa (12/10/2021).

Baca juga: Barisan Celeng Berjuang Bergelora Dukung Ganjar Pranowo di Pilpres 2024

Logo Barisan Celeng Berjuang itu dibuat oleh Eko Lephex. Adapun gambar celeng merah bertaring putih itu merupakan simbol dari semangat perjuangan demi kebenaran.

“Barisan celeng yaitu kita-kita kader PDIP yang ingin selalu berjuang untuk kebenaran demi besarnya partai mengusung Ganjar Pranowo presiden 2024,” jelas dia hari ini.

Taring panjang pada gambar itu mewakili semangat perjuangan tanpa kenal takut. Warna merah mewakili keberanian memperjuangkan kebenaran. Sementara putih merupakan kebenaran hati nurani.

Baca juga: Survei Terakhir Charta Politika: Cebong dan Kampret Makin Fanatik

Cebong vs Kampret

Polemik yang menyeret nama binatang menjelang pilpres merupakan bentuk sinisme politik yang sudah pernah terjadi sebelumnya. Berdasarkan catatan Solopos.com, rivalitas cebang versus kampret muncul setelah Pilpres 2014. Saat itu, pendukung Jokowi kerap disebut sebagai cebongers. Sementara pendukung Prabowo disebut sebagai kampret.

Pendiri Drone Emprit, Ismalil Fahmi, sempat mengatakan bahwa sebutan cebong dan kampret muncul sejak 2018. Dalam kicauannya di Twitter @ismailfahmi pada 13 Agustus 2020 disebutkan bahwa istilah cebong paling banyak dibicarakan mulai 2019 dengan total sekitar 2,58 juta cuitan. Kemudian disusul dengan kampret yang memiliki sekitar 2,43 juta kicauan.

Sinisme cebong dan kampret ini terpolarisasi sampai saat ini berkat media sosial yang menghangatkan situasi politik dengan membangun sinisme dan ekspresi yang fantastik.

Baca juga: Ada Ikan Dewa di Telaga Sarangan, Air Surut Bagaimana Kondisinya?

Rivalitas cebong dan kampret semakin meruncing setelah Pilpres 2019 yang memenangkan kubu Jokowi. Namun tindakan Prabowo yang mengklaim kemenangan namun berujung kekalahan membawa dampak polarisasi sampai hari ini.

Hasil penelitian M Tazri dari Universitas Muhammadiyah Riau bertajuk Cebong dan Kampret dalam Perspektif Komunikasi Politik yang diterbitkan dalam Jurnal PIKMA menunjukkan bahwa istilah tersebut merupakan sinisme politik yang berlebihan yang merupakan bentuk penurunan bahasa komunikasi politik di Indonesia.

Hal senada disampaikan Nur Rohim Yunus dkk dalam penelitian bertajuk Kecebong Versus Kampret: Slogan Negatif dalam Komunikasi Politik pada Pemilihan Presiden 2019. Artikel yang diterbitkan pada jurnal SALAM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menyimpulkan bahwa slogan tersebut merupakan bentuk sentimen negatif yang berkembang di media sosial dan tidak sesuai dengan norma kehidupan masyarakat jika ditinjau berdasarkan perspektif etika publik berlandaskan Pancasila.

Baca juga: Elektabilitas Ganjar Terus Naik, Ini Kata Bambang Pacul

Sinisme Politik

Akan tetapi, sinisme politik semacam itu agaknya tidak terhindarkan. Hal ini dibuktikan dengan adanya polemik Celeng versus Banteng di internal PDIP. Pakar Komunikasi Politik UNS Solo, Sri Hartjarjo, memaknai penggunaan simbol tersebut dipakai sebagai label guna membentuk wacana publik.

“Dalam politik itu wacana menjadi penting, karena akan digunakan untuk membangun persepsi publik di internal partai maupun eksternal,” kata Hastjarjo saat dihubungi detikcom, Selasa (12/10/2021).

Baca juga: 100 Pabrik Sepatu Pindah ke Jawa Tengah, Cari Karyawan Murah?

Dalam internal PDIP, label ini memuat makna siapapun yang bersimpati dengan pendukung Ganjar berarti tidak mau tunduk kepada partai. Namun, di sisi lain kader pendukung Ganjar tidak mau disebut pembelot hingga membalas dengan sebutan bebek.

“Secara teknik retorika, terjadi permainan rima ketika kata celeng disandingkan dengan kata banteng. Bunyinya mirip, tetapi makna kedua kata itu bertolak belakang. Teknik ini biasanya digunakan untuk menegaskan makna yang ingin disampaikan oleh seseorang,” ungkap dia.
Kata banteng memiliki simbol kuat, berani, dan kokoh. Sementara celeng mewakili simbol liar dan destruktif yang cukup kasar bagi warga Jateng.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya