SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, JAKARTA – Di tengah guyuran insentif yang diberikan kepada pelaku usaha, termasuk rencana menurunkan pajak penghasilan (PPh) korporasi dari 25% menjadi 20%, pemerintah dikabarkan membuat kebijakan yang menekan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.

Hal ini ditandai dengan rencana penurunan baseline  penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang terdapat di dalam rancangan awal draf revisi Undang-Undang No.36/2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Dokumen awal rancangan draf itu menjelaskan bahwa kebijakan ambang batas PTKP diturunkan menjadi minimal Rp36 juta. 

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Artinya, wajib pajak yang memiliki penghasilan pajak minimal Rp3 juta wajib melaporkan surat pemberitahuan (SPT) dan dikenai pajak penghasilan (PPh).

Jika dibandingkan dengan ketentuan dalam UU PPh hasil revisi tahun 2008, angka Rp36 juta memang jauh lebih tinggi. Namun demikian, jika dibandingkan dengan baseline  yang berlaku saat ini, diterbitkan pada 2016, yakni pada angka Rp54 juta atau untuk WP berpenghasilan Rp4,5 juta per bulan, angka ini tentu lebih rendah.

Ekspedisi Mudik 2024

Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo tak menjawab saat dikonfirmasi soal kebijakan tersebut.

Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wirasakti dan Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama juga kompak tak memberikan komentar mengenai perubahan baseline PTKP tersebut.

“Saat ini belum ada draf secara resmi. Jadi saya tidak bisa mengonfirmasi apapun terkait itu,” ungkap Yoga, Rabu (24/7/2019). 

Yoga bahkan menganggap dokumen rancangan draf UU PPh tersebut tidak valid, tetapi saat Bisnis.com menunjukkan dokumen yang dimaksud, dia tak memberikan konfirmasi lebih detail mengenai bagian-bagian serta argumentasi yang menguatkan soal ketidak validan dokumen tersebut.

Meski demikian, Yoga menyebut bahwa proses pembahasan revisi UU PPh masih terus dimatangkan dan menjadi prioritas dari ototitas fiskal.

“Sebaiknya ditunggu penjelasan lengkap dan terupdate nanti. Kami tidak ingin membicarakan satu per satu topiknya,” ungkapnya.

Seperti yang diketahui, dalam rancangan awal draf UU PPh yang diterima Bisnis.com, pemerintah akan memperluas cakupan objek pajak penghasilan dari 19 menjadi 25 obyek PPh. Selain itu, pemerintah juga mempertegas cakupan objek pajak terkait bentuk usaha tetap termasuk memberikan kepastian perlakuan perpajakan bagi transaksi ekonomi digital.

Sementara itu terkait PTKP, dalam UU yang lama, pemerintah memberikan batasan PTKP sebesar Rp15,84 juta. Hanya saja, angka PTKP tersebut kemudian naik menjadi Rp36 juta dan terakhir pada tahun 2016 setelah berkonsultasi dengan DPR, PTKP kemudian dinaikkan menjadi Rp54 juta atau Rp4,5 juta sebulan.

Sama hal dengan ketentuan yang lama, mekanisme unuk mengubah besaran PTKP tersebut bisa ditentukan melalui mekanisme penerbitan Peraturan Menteri Keuangan atau PMK dengan terlebih dahulu mengonsultasikannya dengan DPR.

Naiknya PTKP pada waktu itu turut berimplikasi pada jumlah wajib pajak yang wajib lapor SPT, dari sebelumnya berjumlah 20,1 juta pada 2016 turun menjadi 16,5 juta pada 2017 dan terakhir pada 2019 jumlah WP yang wajib lapor SPT masih pada kisaran 18 jutaan.

Tidak Adil

Ekonom Indef Enny Sri Hartati mengatakan bahwa rencana pemerintah yang menurunkan baseline PTKP menjadi Rp36 juta, merupakan keputusan yang perlu ditinjau ulang. 

Selain tidak proporsional dan tidak adil,  keputusan tersebut justru bisa mendelegitimasi peran pajak sebagai alat untuk meredistribubsi pendapatan.

Enny kemudian juga menyinggung beberapa aspek yang dianggapnya sangat timpang merujuk pada keputusan pemerintah yang memberikan banyak insentif kepada wajib pajak atau kelompok yang secara ekonomi berada di atas rata-rata.

“Ini tidak hanya tidak proporsional, karena esensi dari pajak adalah untuk meredistribusi pendapatan,” ungkap Enny.

Enny kemudian meminta pemerintah fokus untuk mengejar pajak dari sektor-sektor yang memiliki tingkat kepatuhan yang lebih rendah. Apalagi, masalah terbesar dari tidak optimalnya penerimaan pajak saat ini tidak hanya sebatas mengenai tarif, tetapi tingkat kepatuhan wajib pajak termasuk praktik-praktik penghindaran pajak yang masih banyak terjadi.

“Kalau ini jadi diterapkan, tentu efeknya cukup besar, bukan masalah pajak saja, tetapi ekonomi keseluruhan bisa terganggu,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya