SOLOPOS.COM - Pentas teater Kelompok Nawiji asal Semarang dalam serangkaian Festival Seni Jawa Tengah 2017 di Pendopo Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Kamis (24/8/2017). (Ika Yuniati/JIBI/Solopos)

Festival Seni Jawa Tengah 2017 di Pendapa Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) dimeriahkan beragam kegiatan.

Solopos.com, SOLO--Suara musik penuh distorsi terdengar semakin keras seiring dengan langkah tiga laki-laki yang kian cepat mengitari instalasi berbentuk persegi, di Pendapa Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Kamis (24/8/2017) malam. Perlahan mereka memasuki bagian dalam instalasi yang digunakan sebagai simbol ruang tahanan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Gerak tak beraturan terus dilakukan sebagai gambaran kegundahan hati seorang yang terpenjara. Disusul dua perempuan dengan dress selutut yang ikut mengitari instalasi ruang tahanan. Dalam lampu temaram, mereka menarik tali tambang dan bergelantungan sampai pertunjukkan selesai. Barisan sajak WS Rendra berjudul Tahanan enjadi dialog terakhir mereka di pengujung kegamanangan.

“He, pemberontak hari yang berikut bukan milikmu!, He, pemberontak hari yang berikut bukan milikmu!, He, pemberontak hari yang berikut bukan milikmu!” kata mereka berulang-ulang dengan nada penuh kemarahan.

Puisi teatrikal bersumber sajak Rendra yang ditafsir ulang oleh Kelompok Teater Nawiji asal Semarang ini dipentaskan selama hampir 30 menit. Barisan bait puisi Tahanan menjadi penjembatan narasi cerita dengan konsep teatrikal yang banyak mengedepankan simbol. Tahanan ditafsirkan sebagai bentuk pengekangan personal yang lebih luas.

“Melalui pentas ini saya juga pengin menggambarkan bahwa di tahanan enggak melulu mencekam. Di dalamnya juga ada yang menjalani proses kreativitas seperti tokoh-tokoh Pramoedya Ananta yang justru banyak berkarya pas di tahanan,” kata sutradara Khoiri Abdillah saat diwawancara solopos.com seusai pentas, Kamis.

Sedikit berbeda, Kelompok Teater Lintang Esok dari SMK Adiwerna Tegal mementaskan sajak Pertemuan Mahasiswa karya Rendra dengan konsep realis. Mereka menggambarkan perjalanan keberagaman Indonesia yang hampir terpecah karena kepentingan personal. Mahasiswa yang menjadi tokoh sentral puisi ini kemudian muncul sebagai penggerak. Di bawah naungan ibu bumi, mereka mulai pasang badan untuk NKRI.

Sang sutradara, Waceng GMP saat berbincang dengan Solopos.com, Jumat, mengatakan yang paling sulit adalah menyeragamkan tafsir Pertemuan Mahasiswa. Sajak-sajak dalam puisi yang menceritakan perjuangan mahasiswa tahun 1977 tersebut memiliki makna yang luas sesuai dengan subjektivitas pembaca. Untuk itu, ia butuh waktu hampir dua pekan untuk menyamakan persepsi antara tim produksi dengan para pemain.

“Setelah semua sepemikiran mulai latihan dan melakukan koreografi. Hanya butuh waktu sebentar untuk latihannya. Ini baru pertama kami mementaskan teater dari puisi dengan minim dialog dan narasi. Agak susah memang,”kata dia.

Penanggungjawab teater dalam Festival Seni Jawa Tengah 2017, Hanindawan, mengatakan ini kali mereka menggunakan konsep puisi teatrikal dari karya-karya Rendra.

“Kami ingin melihat bagaimana puisi bisa menginspirasi karya-karya panggung yang baru. Pesertanya juga kami pilih grup potensial yang lama vakum. Harapannya setelah dari sini [TBJT] mereka menularkan semangat kretaivitas di kotanya masing-masing,” kata dia.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya