SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

GURU MERAPI--Kepala SDN II Tlogolele, Sogiran bersama anak didiknya. Setiap hari Sogiran harus menempuh jarak puluhan km dari rumah ke sekolahnya. Foto diambil Kamis (17/11/2011). (JIBI/SOLOPOS/Farida Trisnaningtyas)

Mereka berkorban demi anak didik…

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

(Solopos.com)–Perjalanan ke sekolah demi menunaikan tugas mulia mencerdaskan anak-anak bangsa, bukan barang mudah bagi para guru di lereng Merapi. Pagi buta mereka sudah harus berangkat dari rumah menuju ke sekolah yang berada di Desa Tlogolele, Kecamatan Selo.

Dari belasan guru yang mengajar di daerah yang sangat dekat dengan puncak Merapi hanya beberapa yang asli daerah setempat. Selebihnya banyak dari luar daerah, bahkan lintas provinsi.

“Rumah saya di Berbah, Sleman, DIY. Jika dihitung-hitung dari rumah ke sekolah jaraknya sekitar 70 km. Ya, pulang pergi tiap hari rumah ke sekolah,” tutur Kepala SDN Tlogolele II, Sogiran saat ditemui wartawan, Kamis (17/11/2011).

Sogiran telah mengabdikan dirinya untuk mendidik anak-anak Merapi ini sejak 1991. Selama itu, ia sudah merasakan beberapa kali erupsi Merapi. Meskipun jarak yang harus dilalui tak sebentar, ia mengaku mengabdi dengan sepenuh hati.

Sogiran tak sendirian. Beberapa guru di sekolahnya juga banyak yang berasal dari Jogja. Mereka tidak kos ataupun mengontrak rumah agar lebih dekat dengan sekolah. Letak Tlogolele yang masuk dalam kawasan rawan bencana menjadi pertimbangan tersendiri.

Kesulitan juga dirasakan guru asal Desa Lencoh, Selo, Slamet Riyadi. Ia mengajar di SDN Tlogolele II sejak sekolah itu berdiri sekitar 1983. Belasan tahun ia berangkat dari rumah ke sekolah dengan jalan kaki.

Tak jarang ia hanya memakai sandal ataupun melepas alas kakinya untuk menuju sekolah karena medan yang menantang. Pada waktu itu dam jembatan Kali Apu belum dibangun. Dam itu baru dibangun pada 2000.

“Sebelum Dam Kedung Kayang selesai pertengahan tahun ini, saya terpaksa jalan kaki lagi melewati Kali Apu bagian bawah. Kendaraan saya titipkan di Klakah kemudian saya jalan kaki ke sekolah sekitar 45 menit,” ucap guru berusia 50 tahun itu.

Ia menuturkan saat jembatan Kali Apu yang paling bawah itu jebol, ia terpaksa memutar melewati Muntilan, Magelang untuk mengajar di sekolah yang kini mempunyai murid 137 anak.

Seorang guru lain bernama Giyanto justru pernah terjebak lahar dingin. Kala itu, guru asal Cepogo pulang sekolah melewati Kali Apu. Namun sesampainya di tengah sungai, aliran lahar mengepungnya. Alhasil, ia balik kanan kembali ke sekolah karena jalan pulang terkepung lahar.

Beri perhatian
Salah seorang guru muda, Hari Suryanto pun mengamini apa yang dituturkan seniornya. Guru asal Imogiri, Bantul, DIY ini harus pagi-pagi benar berangkat dari rumah untuk menemui anak didiknya di puncak Merapi.

“Kami meminta agar Pemkab memberikan perhatian lebih kepada guru, anak serta sekolah di kawasan ini. Pernah ada pengumuman jika para guru yang mengajar di daerah bencana mendapatkan tunjangan khusus. Data telah kami kirimkan baik ke pusat ataupun provinsi sejak Januari 2011 lalu. Namun, hingga kini tidak satupun guru yang masuk daftar apalagi dapat tunjangan,” keluhnya.

Tak hanya harus bergulat dengan jalanan yang cukup jauh serta berdampingan dengan daerah yang sangat rawan bencana, mereka juga harus memaklumkan diri dengan keadaan sekolah yang serba pas-pasan.

Setiap kali hujan, hampir seluruh ruangan dirembesi air hujan karena kualitas genting yang rendah. Selain itu, sekolah juga tidak mempunyai perpustakaan maupun ruang usaha kesehatan sekolah (UKS). Mereka berharap Pemkab memprioritaskan sekolah serta nasib para guru di sekolah yang berada paling dekat dengan puncak Merapi ini.

(Farida Trisnaningtyas)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya