SOLOPOS.COM - Ilustrasi ular. (Reuters)

Solopos.com, JOGJA — Dosen UGM Jogja, Donan Satria Yudha, mengatakan anggapan bahwa ular, biawak, atau lainnya yang masuk permukiman untuk menganggu warga tidaklah tepat. Justru bisa jadi manusia yang lebih dahulu mengganggu mereka, dalam hal ini mengganggu keberlangsungan habitatnya.

“Kadang judul di media masa menuliskan ular meneror manusia, padahal manusia yang meneror duluan. Kata teror itu aktif, tapi ular enggak punya tendensi untuk meneror manusia, hanya ingin cari makan atau bersembunyi dari hujan, saat hutannya udah enggak ada,” kata Donan, Jumat (19/11/2021).

Promosi Komeng The Phenomenon, Diserbu Jutaan Pemilih Anomali

Tidak hanya di daerah permukiman, penyu di pantai juga terancam habitatnya. Terlebih pantai yang di sekitarnya terdapat hotel dengan lampu-lampu yang terang. Belum lagi pantai yang sering dibuat acara sehingga menimbulkan suara berisik. Penyu tidak akan mendekat ke pantai dan bertelur apabila cahaya terlalu terang atau suara terlalu berisik.

“Mereka terganggu, tidak mau bertelur di situ. Apalagi di dekat pantai jadi bandara dan tambak juga, suara pompa air mengganggu sekali,” kata Donan.

Baca juga: Catat Lur! Begini Tips Agar Rumah Tak Dimasuki Ular

Hal ini disebabkan pembangunan yang masif di DIY, termasuk untuk permukiman warga sedikit banyak mengurangi habibat satwa vertebrata. Maka tidak heran apabila jenis hewan yang dahulu bisa dijumpai, sekarang sudah tidak pernah terlihat.

Tidak hanya permukiman, pembangunan talud dan jalur pedestrian di samping sungai juga berdampak buruk pada habibat satwa. Padahal, meskipun tidak membangun talud, tanah dan akar pohon cukup mampu menahan erosi.

“Akar dan tumbuhan merupakan sarang biawak, bulus, dan lainnya. Kalau semua ditalud, mereka akan tinggal di mana? Mereka tidak punya habitat lagi. Jadi jangan salahkan apabila hewan-hewan ini banyak yang masuk ke permukiman warga untuk mencari makan,” kata Donan.

Baca juga: Hiiii Ada Ular Naga di Air Terjun Sumuran Telomoyo

Konservasi Lingkungan

Dosen yang baru saja mendapat penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas jasanya mengidentifikasi satwa vertebrata dan upaya konservasi lingkungan itu menambahkan, asyarakat berperan menjaga habitat satwa, termasuk dari lingkungan rumah.

Caranya bisa dengan menyediakan satu lahan yang dibiarkan menjadi habitat hewan di setiap kampung. Apabila manusia memerlukan taman, maka satwa juga demikian. Meski taman satwa tidak perlu rapi apalagi terdapat wahana permainan. Cukup lahan semak belukar namun masih asri, tanpa pengecoran, pemasangan conblok, atau sejenisnya.

Baca juga: Hati-Hati Lur! Ini Musimnya Ular Menetas

Untuk penghalang agar satwa tidak memasuki permukiman, bisa dibuat sungai atau aliran air. “Buat pagar berupa sungai, mereka susah menyebarang. Meski ada ular yang bisa menyeberangi sungai, tapi setidaknya untuk menghambat,” kata Donan.

Meski banyak lahan habitat satwa menjadi permukiman, kadar hilangnya habitat satwa di DIY masih bisa ditolerir, atau belum kritis. Terlebih masih ada beberapa lahan konservasi. Kabar baiknya lagi, semakin banyak orang yang kini terlibat dalam aktivitas konservasi. Bahkan dari latar belakang yang bukan biologi atau lingkungan.

“Banyak tumbuh komunitas pecinta satwa, peduli lingkungan, dan lainnya. Sementara ini kondisi di DIY masih bisa ditolerir, untuk penyu BKSDA Jogja punya cara agar tetap membantu. Belum masuk ke kondisi yang parah,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya