SOLOPOS.COM - Ibrahim FW (Espos/Adib Muttaqin Asfar)

Ibrahim FW (Espos/Adib Muttaqin Asfar)

Ada keramaian kecil di salah satu ruang kuliah D3 Broadcasting UNS, 15 Maret lalu. Di whiteboard, sekelumit ucapan selamat ulang tahun ditulis oleh beberapa mahasiswi khusus untuk sebuah nama.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Saya tidak menyangka dapat ucapan selamat ulang tahun,” ujar Eka Nada Shofa Alkhajar, beberapa pekan sesudahnya.

“Waktu itu saya tidak tahu, baru sadar setelah melihat tulisan whiteboard.”

Ekspedisi Mudik 2024

Hari itu, Eka memang sedang berulang tahun yang ke-27. Untuk kali pertama pula dia mendapatkan ucapan selamat ulang tahun dari para mahasiswanya. Tak banyak pengajar perguruan tinggi yang punya hubungan dekat dengan mahasiswanya dan Eka beruntung mendapatkannya. Maklum, selisih usianya dengan para mahasiswanya tak terlalu jauh. “Mungkin karena kami lebih muda sehingga bisa dekat dengan mahasiswa.”

Setidaknya itulah salah satu kesan manisnya menjadi dosen muda selama dua tahun terakhir. Eka memang baru menjadi dosen di FISIP UNS sejak 2010 dan menjadi salah satu dosen termuda di kampus itu.

Profesi itu setidaknya terus mendekatkannya dengan dunia kampus hingga hari ini. Sejak pertama kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS 2003, kehidupan Eka nyaris tidak pernah jauh dari kampus. Seusai menamatkan masa empat tahun kuliah S1-nya, dia langsung melanjutkan pendidikan magisternya di kampus yang sama. Hal ini terus berlanjut saat terbuka kesempatan baginya untuk menjadi pengajar di almamaternya.

Status dosen di kampus negeri boleh jadi prestisius di mata kebanyakan orang. Namun bagi orang yang bertahun-tahun aktif di organisasi mahasiswa ekstra kampus, pilihan ini tergolong langka. Eka aktif di HMI Komisariat FISIP UNS sejak awal jadi mahasiswa S1 dan terakhir menjadi Ketua HMI Cabang Solo, beberapa tahun lalu. Berbeda dengan kebanyakan aktivis yang akhirnya memilih jalan hidup di parpol atau LSM, Eka memilih kembali ke kampus.

“Sejak dulu saya lebih suka dengan penelitian, ikut PKM (program kreativitas mahasiswa) dan suka lingkungan akademik. Makanya walaupun aktif di organisasi, saya tetap lulus empat tahun,” ujarnya.

Meskipun sempat mengenyam pelatihan di Lemhanas dan latihan organisasi tingkat akhir, tak ada niat Eka untuk masuk parpol. Dia lebih memilih membantu penelitian seorang dosen di dan menyelesaikan kuliah S2-nya.

Pilihan itu tampaknya tidak salah. Tak lama setelah meraih gelar magisternya, dibukalah lowongan CPNS dosen di UNS. Eka pun mengikuti seleksi yang digelar secara nasional dan dinyatakan lolos. Hanya ada dua nama calon yang diterima di FISIP, Eka salah satunya.

 

Modal S2

Muda, mengajar mahasiswa, CPNS pula, status ini sering diimpikan sebagai keberuntungan. Namun di balik itu ada jalan panjang yang harus ditempuh. Tanpa gelar S2 dan IPK kurang dari 3,00, mustahil semua itu didapatkan. “Dulu pas lulus S1 IPK saya 3,73,” kata Eka.

Namun, itu tidak cukup karena Eka harus menempuh pendidikan S2 yang biayanya jelas tidak murah. Satu semester biayanya sampai Rp5 juta, padahal orangtuanya sudah tidak memberinya subsidi. Itulah yang membuat Eka bekerja keras menambal menutup biaya kuliahnya dengan berbagai cara. Mulai dari membantu penelitian dosen, rajin mengirim tulisan ke media massa, mengikuti berbagai lomba penulisan dan tentu saja mencari beasiswa. “Misalnya dulu menang Sayembara Wiranto Mendengar, saya dapat Rp3 juta. Itu masih tombok, sisanya dari honor penelitian.”

Dalam hal ini, Eka tak sendirian. Rekannya sesama dosen CPNS di UNS juga harus menempuh proses yang sama. “Dulu IPK S1 saya malah enggak cumlaude, cuma 3,2. Soalnya dulu kebanyakan main,” ujar Dimas Rahadian Aji Muhammad yang kini menjadi dosen di Fakultas Pertanian UNS, Jumat (30/3) lalu.

Dimas adalah lulusan Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Pertanian UGM. Meskipun lulusan perguruan tinggi negeri ternama dan IPK-nya sudah lebih dari 3,00 atau memenuhi standar minimal sebagai dosen, hal itu jalannya tetap tidak mudah. Dengan nilai sekian, Dimas sadar dirinya masih terlalu berat untuk bersaing menjadi pengajar perguruan tinggi.

Lulus dari kuliah S1, Dimas sempat mencari pengalaman di dunia kerja dengan memasuki sebuah perusahaan pengolahan makanan. Namun itu tak berlangsung lama karena dia merasa tidak cocok bergelut dengan pekerjaan yang monoton.

Kembalilah dia ke kampusnya dan bekerja di Pusat Kajian Makanan Tradisional UGM selama dua tahun. Selama dua tahun itu pula dia melanjutkan studi S2-nya di Teknologi Hasil Perkebunan UGM. Di sana, dia kembali lagi bergelut dengan dunia akademik seperti dulu. Bedanya, kali ini dia lebih serius. “Di S2, IPK saya akhirnya 4,” katanya.

Berbekal nilai yang istimewa tersebut, Dimas merasa pede untuk masuk dalam persaingan menjadi dosen di PTN. Namun, dia tidak mencoba masuk ke kampus yang pernah jadi almamaternya sendiri, melainkan menyeberang ke Solo untuk masuk ke UNS. Salah satu sebabnya adalah persaingan di sana sudah sangat berat. Di Solo, Dimas juga merasa sangat berat karena namanya sama sekali belum pernah punya reputasi di lingkungan UNS. “Tapi saya sudah cukup pede dengan hasil saya di UGM dan Pusat Kajian Makanan Tradisional.”

Sekali lagi, tak mudah untuk mendapatkan jalan tersebut. Lulus S1, Dimas merasa wajib melanjutkan studinya ke S2 yang harganya tidak murah. Di UGM, biaya kuliah pascasarjana untuk program tersebut mencapai Rp4,2 juta per bulan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya