SOLOPOS.COM - Latifah Umi S (Espos/Adib Muttaqin Asfar)

Latifah Umi S (Espos/Adib Muttaqin Asfar)

Mengajar di perguruan tinggi adalah pekerjaan elite. Namun, di balik status sosial yang mentereng itu, kenyataan sebenarnya tak selalu mudah.

Promosi Tenang, Asisten Virtual BRI Sabrina Siap Temani Kamu Penuhi Kebutuhan Lebaran

“Sebenarnya mengajar di perguruan tinggi itu sama saja dengan guru tapi kita harus menghadapi orang yang lebih kritis dari anak sekolah,” kata Nur Latifah Umi Satiti, lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi UNS yang kini mengajar di Ilmu Komunikasi UMS, Jumat (30/3) lalu.

Latifah yang berusia 28 tahun memang terbilang masih sangat muda untuk ukuran dosen. Sejak tiga tahun lalu, dia mesti berhadapan puluhan mahasiswa yang usianya terpaut tak terlalu jauh di bawahnya. Mahasiswa memang lebih kritis, tapi itu hanya satu dari tantangan yang dihadapinya setiap hari.

Masih teringat dalam benaknya saat dia mengawali kariernya sebagai dosen 2009 lalu. Latifah yang saat itu masih dianggap sebagai dosen baru, justru merasa “diospek” oleh para mahasiswanya. Maklum, selisih usia para mahasiswa itu memang cukup dekat. Mereka adalah mahasiswa angkatan 2006 atau hanya terpaut empat tahun darinya. Tampaknya ada kesan mereka kurang mempercayai kemampuan para dosen yang masih muda.

“Saya juga sempat grogi pada saat itu. Saat saya tanya yang pojok sana, yang di sini menyoraki saya, terus yang lain balik menggoda saya. Mungkin karena saat itu mereka anggap saya dosen baru, jadi kurang trust sama saya,” katanya.

Di luar kelas, dia pun sering menerima kenyataan bahwa banyak mahasiswa yang suka menggodanya. Saat ketemu, ada saja mahasiswa yang menyapanya dengan kalimat “hai cantik” dan sebagainya.

Untungnya hal itu pelan-pelan berlalu seiring dengan masuknya mahasiswa angkatan baru dan lulusnya mahasiswa lama. Meski demikian, tetap saja dia harus menghadapi perilaku mahasiswa yang menurutnya tergolong tidak sopan, bahkan di luar dugaannya. Pernah suatu kali seorang mahasiswa sampai marah-marah di Facebook hanya gara-gara mendapatkan mendapatkan nilai jelek. Pernah pula dia didatangi oleh seorang mahasiswa yang tidak terima dirinya dilarang ikut ujian. Padahal si mahasiswa itu memang jarang kuliah sehingga presensinya tidak memenuhi syarat. “Habis itu dia pergi begitu saja tanpa salam atau bilang apa-apa. Ini bukan cuma pernah tapi sering.”

Itu memang belum apa-apa. Suatu hari setelah semesteran, dia kembali didatangi oleh mahasiswa yang tidak terima mendapat nilai C. Mahasiswa itu bilang pada Latifah, “Ibu juga enggak mutu!” Namun Latifah memakluminya karena memang kecenderungan mahasiswa sekarang yang menurutnya lebih keras kepala.

Tentu saja tidak selalu pengalaman buruk yang ditemuinya. Latifah mengaku senang mengajar meskipun bukan berstatus PNS seperti dosen di kampus negeri. Menurutnya, mengajar di PTS justru memberinya keuntungan lebih dari dosen negeri, setidaknya dalam hal biaya kuliah pascasarjana.

Adalah syarat mutlak bagi calon dosen PTN untuk memiliki ijazah S2 terlebih dahulu. Sementara Latifah hingga kini belum sempat kuliah S2. Namun kabar baiknya, kampus tempatnya mengajar tidak menempatkan ijazah S2 sebagai syarat mutlak. Justru dia mendapatkan fasilitas beasiswa untuk menempuh S2 di luar negeri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya