SOLOPOS.COM - Mbah Karto Utomo (JIBI/Harian Jogja/Andreas Tri Pamungkas)

Mbah Karto Utomo (JIBI/Harian Jogja/Andreas Tri Pamungkas)

Kacanduan gadget kerap kali justru membuat tingginya sikap individual. Apalagi jika teknologi itu dikenalkan sejak dini, keluarga yang tinggal dalam satu rumahpun bisa kurang harmonis karena minim komunikasi. Selain itu nilai-nilai budaya asli daerah juga ditinggalkan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Hal ini tak berlaku bagi keluarga Mbah Karto Utomo, warga Pandes, Panggungharjo, Sewon. Siang itu, nenek berusia sekitar 85-an itu kedatangan tamu dari anak-anak Sekolah Dasar Teruna Bangsa.

Berduyun-duyun, Mbah Karto kemudian menaiki gubuk-bangunan seperti cakruk tempat ronda-di halaman rumahnya. Perlahan tapi pasti, Mbah Karto akhirnya berada di dalam gubuk tersebut.

Ia kemudian membongkar-bongkar kotak berisikan kertas kardus bekas. Tanpa berpikir panjang,d engan tangannya yang sudah gemetaran, Mbah Karto menggunting kertas tersebut tanpa menggambar pola sebelumnya.

Mbah Karto tak sendiri. Dia ditemani oleh anaknya Karjiyem, 70 dan cucunya Puji Harti, 38. Tak membutuhkan waktu lama, kertas-kertas yang diguntingnya tersebut berbentuk pola tubuh wayang yang disebutnya sebagai tokoh Arjuna dan angkrek-angkrekan.

Karjiyem lalu melukisi mata, baju, dan mahkota langsung menggunakan bambu seukuran sumpit yang telah diraut pada ujung sampai runcing.

Agar bisa digerak-gerakan seperti dalam pertunjukan wayang, Mbah Karto menambahi wayang dolanannya itu dengan tangan yang juga terbuat dari kertas kardus dan disambungnya menggunakan tali kenur.

Tali itu lalu saling dikaitkan sedemikian rupa dengan bagian tangan lainnya sehingga dapat digerakan dalam seutas tali raffia. Sebelumnya, dia telah memasang sebilah bambu di tubuh wayang dengan diikat tali. Maka dengan kedua tangan, dolanan anak tersebut sudah dapat dipermainkan.

Mbah Karto mengatakan sejak masih dewasa telah mulai membuat dolanan anak tersebut. Bermula dari mencontoh dolanan serupa yang sudah ada dulu, ia kemudian menekuninya sebagai pekerjaan sampingan selain menjadi petani.

Dulu saat sebelum ada permainan secanggih saat ini dan munculnya televisi, Mbah Karto menjualnya sampai ke luar daerah. Beberapa anaknyapun terlibat membuatnya. Secara tak sadar hingga usia senja, mereka sudah terbiasa dan mengenal beberap karakter tokoh perwayangan.

Adalah Wahyudi Anggoro Hadi, warga setempat, anak pembuat dolanan anak di desa tersebut kemudian melestarikan tradisi budaya tersebut dengan membentuk Komunitas Podjok Budaya pada 2008. Menurut dia sekarang ini tinggal delapan sesepuh yang menguasai pembuatan dolanan anak.

Kini setiap bulannya setidaknya terdapat dua hingga tiga sekolah yang kerap belajar di Pandes dengan jumlah pengunjung sampai 200 anak. “Komunitas ini berharap tradisi membuat dolanan anak ini tidak ditinggalkan. Kalaupun di desa ini nanti ini tidak ada lagi yang bisa membuatnya, ilmunya telah tertularkan,” harap Wahyudi.

Sebab menurut dia dengan membuat dolanan anak itu,tradisi atau nilai-nilai budaya juga dikenalkan. Dengan membuat pola seperti itu, anak akan bertanya siapa tokoh yang dibuatnya dan akan memainkan dengan teman-temannya. Adapula permainan tradisional lainnya seperti klontongan, angkrek, kitiran, manukan, wayang, kluthuk, dan blimbingan. (ali)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya