SOLOPOS.COM - Ratmurti Mardika/Istimewa

Solopos.com, SOLO -- Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti,  tidak setuju dengan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Indonesia Maju, Edhy Prabowo, yang ingin mengekspor benih lobster atau benur.

Yang bertentangan dengan pendapat Susi tak tanggung-tanggung, menteri koordinator bidang kemaritiman sampai presiden turun tangan membela si menteri baru.  Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu berpendapat mengekspor benih lobster adalah kecerobohan dan kerugian.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Salah satu alasannya, benih lobster nilai ekonominya sangat kecil dibanding lobster dewasa, terlebih lagi membuka keran ekspor benur bisa mengancam keberlangsungan siklus hidup lobster. Lobster bisa punah. Begitu penjelasan Susi dalam cuitan di akun Twitter.

Di pihak seberang, ekspor benih lobster adalah pekerjaan yang menguntungkan karena belum siapnya infrastruktur pembesaran dan banyak penyelundupan bibit lobster ke negara tetangga. Saat esai ini saya tulis, adu data dan argumen masih terus berlangsung sengit dan menarik, apalagi bila kita senang terhadap drama politik di negara kita ini.

Ribut-ribut Susi Pudjiastuti dan Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru ini membuat saya teringat pada satu film favorit saya berjudul The Lobster. David ingin diubah menjadi lobster bila ia tak bisa menemukan pasangan hidup. Peraturan di kamp pengasingan itu memang mewajibkan setiap bujangan menemukan pasangan dalam waktu 45 hari sejak masuk kamp itu.

Bila gagal, para manusia tanpa pasangan itu akan diubah menjadi binatang. Pembuat aturan itu berpendapat menjadi hewan akan lebih baik nasibnya daripada terus menjadi jomlo. David ingin menjadi lobster karena lobster adalah binatang laut yang bisa berumur panjang dan juga memiliki durasi kesuburan reproduksi yang lama pada sepanjang hidupnya.

Begitulah cerita dalam film The Lobster, besutan sutradara Yunani, Yorgos Lathimos, yang dirilis pada 2015 dan masuk nominasi Oscar pada 2016. Komedi gelap ini mencoba membawa cinta dan hubungan menjadi konsep satire yang lebih bermakna dan nonklise.

Saling Bertabrakan

Dalam distopia The Lobstes setidaknya ada tiga lokus yang saling bertabrakan; hotel, hutan, dan kota dengan metafora masing-masing. Hotel adalah persinggahan pertama para jomlo yang diasingkan. Di sini para jomlo diberi pelatihan dan rutinitas untuk dapat berpasangan selama 45 hari.

Hutan tempat hidup para loners, jomlo yang terasing, hidup dalam komunitas khas rimbawan, tapi tak boleh bercinta. Mereka kadang diburu oleh para penghuni hotel yang ingin memperlama masa tinggal. Yang ketiga adalah kota tempat para pasangan tinggal dan hidup berumah tangga, yang telah lulus dari hotel tentunya.

Ketiga lokus dalam distopia itu mengerikan untuk ditinggali, tapi seolah-olah memaksa kita berpikir seakan-akan tidak memiliki realitas lain, pilihan lain, padahal dalam film ini manusia tidak boleh punah.

Sama seperti David dalam film The Lobster, Susi Pudjiastuti dalam waktu singkat bisa menjelma menjadi protagonis dalam dramaturgi ”perlobseran” ini. Data dan argumen yang diberikan Susi sepertinya memang lebih masuk akal untuk dipikirkan. Silakan ikuti pemberitaan tentang isu ini, niscaya Anda akan menemukan kontra narasi yang kedodoran dari Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.

Secara menyedihkan saya harus mengaku bahwa saya lebih mengingat perasaan David di film itu daripada mengingat rasa lobster di dalam mulut dan lidah saya ini. Dengan kata lain, ribut-ribut soal lobster ini adalah realitas yang mungkin jauh dari saya dan mungkin kita.

Saya tinggal di Solo yang jauh dari pantai dan membuat harga lobster kurang bersahabat dengan kantong saya yang kelas proletar ini.  Mungkin pemikiran tentang pembudidayaan dan ekspor benih lobster sama sekali tak pernah terlintas di pikiran saya, bahkan kita, sebagai wong Solo dan sekitarnya. Ironis memang.

Di balik hal menyedihkan di atas, ternyata ada juga hal yang membuat saya dekat kepada lobster. Rasa-rasanya Susi Pudjisatuti ini sebenarnya tidak membela hak-hak lobster, namun mengajak kita berpikir tehadap satu hal yang lebih besar daripada sekadar lobster dan nilai ekonominya, yaitu politik dan ekosistem.

Lebih dari itu adalah kelestarian dan keberlanjutan lingkungan yang baik untuk hidup, bagi manusia maupun makhluk lainnya. Pada saat pemerintahan kini minim suara kritik dari partai oposisi, mantan menteri nonpartisan ini berteriak lantang sendirian, seperti tidak punya stok rasa takut.

Bagi saya, Susi Pudjiastuti telah bermetamorfosis menjadi sosok anarkis yang membuat oligarki kepartaian ini tampak melempem di hadapan isu lingkungan. Bagaimana tidak? Saat esai ini saya tulis belum ada satu pun partai politik yang bersuara lantang terhadap perusakan lingkungan.

Di negara-negara maju, isu lingkungan sedang hangat dibicarakan dan diperjuangkan. Yang aktual, ada aktivis lingkungan yang masih muda belia diundang untuk berkampanye tentang perbaikan lingkungan hidup di banyak negara dan menjadi Person of the Year Majalah Time.

Dialah Greta Thunberg, remaja putri berusia 16 tahun asal Swedia yang menurut Majalah Time telah melakukan hal yang paling berpengaruh atas peristiwa tahun ini karena aktivisme di sektor lingkungan hidup, khususnya isu pemanasan global.

Kelestarian Lingkungan

Selain lobster ini, ada lagi yang membuat Pemerintah Republik Indonesia seakan-akan benar-benar tidak memikirkan isu lingkungan, yaitu rencana penghapusan analisisi mengenai dampak lingkungan atau amdal karena dianggap mempersulit investasi.

Sepertinya pemerintah tidak berpihak pada lingkungan hidup dan membuat kementerian lingkungan hidup tidak masuk dalam 10 kementerian dengan budget terbesar. Alih-alih merasa menjadi manusia yang sedang berhadapan dengan optimisme sektor investasi, perekonomian, dan infrastruktur pembangunan negara, saya malah merasa menjadi lobster yang sedang berada di belakang Susi Pudjiastuti.

Mari kita berpikir, untuk apa kita maju dalam investasi dan perekonomian namun mengorbankan lingkungan hidup kita? Untuk apa punya uang tapi tak punya udara yang baik, air yang sehat, bahan makanan yang bergizi alami, dan akhirnya uang kita hanya akan dipakai membeli itu semua, serta membuat masuk pada lingkaran setan perputaran uang yang sia-sia lagi.

Jika masih membutuhkan pemantik kesadaran ini, silakan menonton film dokumenter karya Linda Nursanti berjudul Lakardowo Mencari Keadilan (2018), yang bercerita tentang pencemaran limbah berupa bahan berbahaya dan beracun telah menjadi distopia kecil bagi warga Lakardowo, Jawa Timur. Bila itu masih terlalu jauh, kita bisa mengikuti perjuangan sebagian warga Kabupaten Sukoharjo yang ramai menghadapi pencemaran Bengawan Solo dan pencemaran udara dari pabrik produsen nilon sintetis.



Dalam film The Lobster, David sang protagonis akhirnya membebaskan diri dan pergi dari semua distopia bersama perempuan yang dia cintai dengan risiko dan kerugian-kerugian yang timbul. David tak ingin menjadi lobster lagi.

Ia mengubah pemikiran dan tindakan kerena bertahan dalam distopia lobster hanya mempercepat masuk liang lahat. Semoga kita masih punya waktu untuk berubah. Masih ada pilihan lain yang bisa kita mulai dari diri sendiri dan lingkungan terkecil kita untuk mengubah keadaan dan memperbaiki kerusakan lingkungan yang kita hadapi kini.

Apa pun aktivisme kita, pekerjaan kita, pandangan politik kita, agama kita, mari kita prioritaskan perbaikan lingkungan hidup, kelestarian dan keberlangsungan ekosistem, serta energi yang terbarukan demi masa depan kita serta anak dan cucu kita. Jangan biarkan kita terjebak dalam distopia The Lobster atau malah mewujudkan distopia Indonesia. Amit-amit jabang bayi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya