SOLOPOS.COM - Wakil Ketua DPR Agus Hermanto (kiri) bersama Menteri ESDM Ignasius Jonan (kanan) menjawab pertanyaan wartawan seusai melakukan pertemuan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (20/2/2017). (JIBI/Solopos/Antara/Hafidz Mubarak A.)

Menteri ESDM Ignasius Jonan terbang ke Houston, Texas, AS, untuk memulai misi bertemu berbagai perusahaan energi. Salah satunya Freeport.

Solopos.com, HOUSTON — Pekan ini Menteri ESDM Ignasius Jonan melakukan kunjungan kerja ke Houston, Amerika Serikat. Pertemuan dengan beberapa perusahaan energi telah dijadwalkan. Tak terkecuali dengan Freeport-McMoRan Inc.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Rencananya, Jonan akan bertemu dengan CEO Freeport-McMoRan Richard C. Adkerson. Memang belum jelas apa yang akan dibicarakan. Namun, publik sepertinya sudah bisa menebak. Apalagi kalau bukan terkait perundingan yang tengah berlangsung dua pihak tersebut atas kelangsungan operasi pertambangan anak usaha Freeport-McMoRan, PT Freeport Indonesia (PTFI).

Pemerintah telah menargetkan memiliki sikap pasti terkait perundingan yang tengah berlangsung dengan PTFI pada akhir bulan ini. Empat poin pembahasan harus segera difinalkan.

Dari empat poin pembahasan tersebut, Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan akan fokus masing-masing di dua poin. Kementerian ESDM untuk perpanjangan operasi dan kewajiban pembangunan fasilitas pemurnian (smelter), sementara Kementerian Keuangan untuk masalah stabilitas investasi dan divestasi.

Dua poin yang disebutkan pertama sebenarnya relatif telah disepakati oleh pihak PTFI. Untuk smelter, PTFI sudah menyatakan komitmennya. Untuk perpanjangan operasi, secara prinsip dua pihak sudah pada arah yang sama, yakni perpanjangan akan diberikan setelah operasi PTFI berakhir di 2021. Hanya mekanismenya saja yang belum disepakati.

Pemerintah ingin perpanjangan dilakukan dengan mekanisme 2×10 dengan evaluasi terlebih dahulu di 2031. Jika lolos, PTFI tentu bisa melanjutkan operasinya hingga 2041.

Yang diinginkan PTFI perpanjangan langsung hingga 2041. Kalaupun 2×10 tahun, harus ada kepastian bahwa operasi PTFI benar-benar hingga 2041.

Tentu saja hal tersebut akan sulit dipenuhi pemerintah. Pasalnya, ketentuan perpanjangan 2×10 tahun telah diatur dalam UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Namun, akhir pekan lalu Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM M. Teguh Pamudji menyatakan pihak PTFI telah menyepakati hal tersebut.

Lalu, bagaimana dengan dua poin lainnya yang dibahas oleh Kementerian Keuangan? Sepertinya jauh lebih alot. Wajar saja karena berhubungan langsung dengan keuangan PTFI.

Untuk masalah stabilitas investasi, pemerintah jelas ingin agar diterapkan sistem prevailing law untuk PTFI. Sistem keuangan yang tidak familiar bagi perusahaan asal Amerika Serikat tersebut.

Pasalnya, selama menjadi pemegang Kontrak Karya (KK), PTFI sudah sangat nyaman menggunakan sistem nail down, sistem yang ingin terus dipakai kendati sudah berubah status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Poin terakhir adalah divestasi. Poin ini menjadi sangat alot bukan hanya karena masalah penghitungan harga yang belum disepakati. Jauh lebih krusial daripada itu, besaran divestasinya pun hingga kini masih sulit mencapai kata sepakat.

Peningkatan kewajiban divestasinya memang signifikan dari 30% ke 51%. Jelas PTFI keberatan karena akan langsung berdampak pada pengaruh induk perusahaannya, Freeport-McMoRan Inc., di Indonesia.

PTFI yang membangun tambang bawah tanah masih ingin kewajiban divestasinya sebesar 30% atau sesuai dengan kesepakatan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 77/2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Namun, berdasarkan PP No. 1/2017 yang mengubah beberapa ketentuan dalam PP No. 77/2014, ketentuan divestasi diubah menjadi 51% kendati perusahaan yang bersangkutan membangun tambang bawah tanah. Untuk hal ini, pemerintah tampaknya sudah bulat dengan keputusannya. Tinggal kini menunggu respons PTFI.

Akhirnya, publik kembali dibuat menunggu untuk melihat dengan jelas seperti apa posisi tawar pemerintah dalam perundingan dengan PTFI ini. Ada yang sudah disepakati, ada yang belum disepakati, dan ada yang sulit disepakati.

Kendati batas waktu perundingan jatuh pada Oktober 2017, bisa jadi titik temu taklama lagi sudah bisa diperoleh. Pasalnya, setelah Jonan menemui Adkerson di AS pada pekan ini, Adkerson pun kemungkinan besar akan membalas lawatan Jonan dengan datang ke Indonesia tak lama setelahnya.

Setelah keduanya bertemu, mungkin akan terlihat bagaimana sebenarnya arah perundingan yang telah berjalan sejak April 2017. Atau justru kedua pertemuan Jonan dan Adkerson di AS dan Indonesia hanya akan membawa perundingan tersebut pada babak baru yang semakin rumit. Tak ada yang tahu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya