SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solo (Solopos.com) – Sistem kerja outsourcing di lingkungan Pemkot Solo dinilai membebani APBD. Serikat Pekerja Nasional (SPN) Solo mendesak agar sistem dengan memakai pihak ketiga tersebut dihapus dan diganti dengan sistem kontrak. “Mestinya tenaga kerja itu bukan dengan outsourcing, melainkan dengan sistem kontrak,” tegas Ketua SPN Solo, Hudi Wasisto kepada Espos, Sabtu (16/7/2011).

Sistem kerja outsourcing, menurut Hudi, akan membuat dana APBD yang dipakai untuk upah tenaga kerja tak lagi diterima penuh. Sebab, dana tersebut harus berbagi lagi dengan penyedia tenaga kerja yang membawahi tenaga outsourcing tersebut. “Padahal, APBD kan sudah menganggarkan upah Rp 800.000 atau di atas UMK. Jadi, kalau yang diterima jauh di bawah UMK, tentu ini sangat merugikan tenaga kerja,” paparnya.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pada dasarnya, tegas Hudi, SPN menolak segala sistem yang merugikan para tenaga kerja, termasuk sistem outsourcing dan kontrak. Meski demikian, jika terpaksa harus memilih, maka sistem kerja kontrak masih lebih baik ketimbang outsourcing. “Kami menyadari keterbatasan APBD. Jadi, kalau memang upah tak mungkin ditambah lagi karena membebani APBD, maka sistem outsourcing harus dihapus.” tegasnya.

Selanjutnya, tegas Hudi, Pemkot Solo diminta mengelola sendiri tenaga kerja non-PNS yang mencapai ratusan orang itu. Dengan pengelolaan sendiri, tegasnya, maka upah tenaga kerja dari APBD akan diterima secara penuh. “Dengan demikian, upah mereka akan sesuai UMK sebagaimana amanah UU Ketenagakerjaan,” terangnya.

Menurut Hudi, dengan menghapus outsourcing dan memberlakukan sistem kontrak dinilai akan sangat tepat. Sebab, tugas utama mereka memang bukan sebagai tenaga inti simtem Pemkot Solo. “Kalau memakai sistem outsourcing justru tak tepat. Bahkan akan membebani APBD,” paparnya.

Sebelumnya, Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1992 Solo menyoroti upah tenaga kerja outsourcing Pemkot Solo yang jauh di bawah UMK. Menurutnya, upah berkisar antara Rp 250.000-Rp 400.000 tersebut akan menjadi preseden buruk bagi tenaga kerja di Kota Solo. “Ini sangat disayangkan karena akan memperburuk nasib para buruh,” papar Ketua SBSI 1992, Suharno.

asa

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya