SOLOPOS.COM - Sejumlah buruh tandur menyelesaikan penanaman padi muda. (Tri Rahayu/JIBI/Solopos)

Dinamika pertanian Sragen, petani di Sragen kesulitan memperoleh buruh tandur.

Solopos.com, SRAGEN–Musim panen sudah berlalu. Tak ada lagi buruh ngasak. Mereka beralih pekerjaan. Ngatinem, 50, warga Gentan Banaran RT 012, Tanon, Sragen memimpin 11 orang buruh tandur. Mereka tergabung dalam Kelompok Tandur Widodo Gentan Banaran. Tandur menjadi pekerjaan alternatif para buruh tani ketika memasuki musim tanam.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ngatinem menarik tali yang ditandai dengan ukuran tertentu menggunakan kayu dan menancapkan di tanah berair. Setiap tanda di tali menjadi tempat untuk menanam padi muda. Mereka menjajar tanaman padi muda secara bersaf dan simetris. Mereka bisa menanam padi muda seluas satu bau (7.096 m2) dalam waktu sehari. Mereka mulai bekerja pukul 05.00 WIB dan pulang pukul 17.00 WIB.

Upah mereka mencapai Rp1,2 juta per bau. Upah itu dibagi 11 orang. Setiap orang mendapat upah Rp109.000. “Boten leren. Antrine kathah. Saben dinten wonten terus selami setengah wulan. [Tak pernah istirahat. Antrenya banyak. Setiap hari ada pekerjaan terus sampai setengah bulan ke depan],” kata Ngatinem saat berbincang dengan Solopos.com, Sabtu (19/3/2016).

Di Desa Gentan Banaran hanya ada lima kelompok tandur yang jumlah anggotanya 6-11 orang per kelompok. Padahal luasan lahannya lebih dari 200 hektare. Banyak petani di desa itu yang kesulitan mencari tenaga tandur. Mereka harus antre 10-26 hari. Bani, 40, petani asal Dukuh Bandung RT 012 Desa Gentan Banaran, harus menunggu sampai 26 hari untuk mendapatkan tenaga tandur.

“Begitu tabur benih harus segera mencari buruh tandur. Hla sejak tabur benih 25 hari lalu, ya baru kali ini dapat buruh tani. Ya, itu kelompoknya Ngatinem. Sekarang mau pesan tenaga mereka harus antre menunggu giliran. Kalau mau cepat ya upahnya berlebih. Biasanya hanya Rp200.000/kotak [2.000 m2] sekarag mintanya Rp250.000/kotak,” ujar Bani.

Minimnya tenaga buruh pertanian membuat petani harus mengeluarkan biaya tinggi. Petani asal Bandung RT 011 Desa Gentan Banaran, Tanon, Taryanto, 47, juga kerepotan mencari tenaga buruh tani. Taryanto masih mudah mencari buruh penyiangan padi muda. Sawah sebau miliknya terpaksa masih menganggur karena belum dapat buruh tandur.

“Teknologi transplanter [mesin penanam padi] pun tidak cocok untuk menanam padi pada musim penghujan. Padi muda dari pembibitan kan pendek-pendek. Kalau pakai mesin penanam padi terlalu dalam sehingga daun padi muda tenggelam. Kalau padi muda di air yang berlebih rawan diserang hama keong. Makanya untuk musim penghujan lebih memilih tandur manual,” tutur dia sembari melihat aktivitas penyiangan padi muda di pinggir Jalan Gentang Banaran-Karungan, Tanon.

Paino, 55, mengatakan banyak generasi muda tidak tertarik bekerja di sawah. Empat orang anaknya pun enggan bekerja di sawah. Mereka memilih jadi buruh bangunan. “Kalau mau kerja di sawah seperti bapaknya kalau terpaksa. Kalau masih ada pekerjaan di bangunan atau pabrik ya mereka tak mau terjun ke sawah. Buruh tani sekarang ya tua-tua seperti saya,” kata Paino.

Paino memiliki tergabung dalam satu kelompok buruh penyiangan padi muda. Anggota kelompok Paino sebanyak delapan orang. Mereka mendapat upah Rp600.000 untuk penyiangan padi muda untuk luasan sawah sebau. Penghasilan mereka hanya Rp75.000/hari. Namun Paino dan anggota kelompoknya memilih upah harian senilai Rp60.000/hari tanpa target. Mereka bekerja seperti buruh pabrik selama delapan jam.
“Kalau satu kelompok bisa mendapat 200 ikat sehari. Kalau borongan lebih kemrungsung,” kata Sugiman, 55, buruh penyiangan lainnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya