SOLOPOS.COM - Syifaul Arifin (Istimewa/Dokumen pribadi)

Kali pertama ke Kota Dili, Timor Leste, empat hari menjelang pemilu parlemen di negeri itu yang berlangsung 21 Mei 2023, ada berbagai cerita yang membuat saya kaget. Selama tiga hari, saya banyak berdiskusi dan mengobrol dengan para aktivis prodemokrasi, wartawan, juga teman-teman di sana.

Kok tidak jauh berbeda dengan di Indonesia ya. Maklum, Timor Leste memiliki hubungan dekat dengan Indonesia, pernah menjadi provinsi ke-27. Mereka resmi lepas dari Indonesia pada 20 Mei 2022. Bahasa Indonesia juga masih dipakai sebagian warga. Menjadi bahasa kerja (working language) di samping bahasa Inggris. Sedangkan bahasa sehari-hari adalah Tetun dan Portugis.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pertama, soal hoaks. Sebagaimana di Asia umumnya yang tingkat literasinya belum tinggi, masyarakat Timor-Leste juga mudah percaya hoaks. Saat pandemi, misinformasi soal Covid-19 banyak beredar. Hoaks politik terutama menjelang pemilu juga bertebaran. Model-modelnya juga tidak jauh berbeda dengan yang ada di Indonesia. Misalnya ada foto dan narasi bendera Republic Democratic Timor-Leste (RDTL) yang dibakar. Padahal foto itu merupakan montase dari demo pembakaran bendera di Indonesia.

Ada pula isu yang sensitif menjelang pemilu. Tentang surat suara yang rusak. Ada pula tudingan warga negara asing (WNA) memiliki surat suara untuk memilih. WNA yang dimaksud adalah orang Indonesia. Kalau di sini, WNA yang sering dituding ikut mencoblos adalah warga negara China.

Ekspedisi Mudik 2024

Kedua, masalah sosial yang dihadapi Indonesia dan Timor-Leste tidak jauh berbeda. Saya kaget ketika dikasih tahu terjadi gesekan sosial antarperguruan silat. Saya tersenyum kecut. Kok seperti di beberapa kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah ya. Ini Kota Dili rasa Soloraya. Teman dari Dewan Pers Timor Leste bercerita sudah lama perguruan silat asal Indonesia berkembang. Banyak penggemarnya.

Bahkan, menjelang pemilu, muncul kabar pemimpin Partai CNRT Kay Rala Xanana Gusmao menyatakan pihaknya memiliki program menutup perguruan silat dari Indonesia maupun lokal.  Tentu saja ini menjadi isu sensitif. Setelah diverifikasi oleh wartawan, ternyata kabar itu tidak benar.  Tergolong konten palsu alias hoaks.

Literasi inilah yang menjadi persoalan di Timor Leste sebagaimana di Indonesia. Berdasarkan data Bank Dunia soal literasi di Asia Tenggara, Timor Leste tergolong terendah. Akibatnya, masyarakat rentan terpapar informasi palsu, hoaks, misinformasi, dan disinformasi.

Karena itulah, jurnalis dan pemeriksa fakta di Indonesia beberapa kali ke Kota Dili mendampingi wartawan dan aktivis di sana agar aktif melakukan cek fakta. Cek fakta adalah upaya mengklarifikasi, membongkar, membantah narasi palsu atau hoaks yang biasanya beredar di media sosial maupun media perpesanan.

Di Indonesia, organisasi pemeriksa fakta dan media berkolaborasi membuat website cekfakta.com. Solopos Media Group (SMG) adalah salah satu anggotanya.  Kalau ada konten palsu, pemeriksa fakta melakukan debunking (menyanggah) dengan menampilkan fakta dan dimuat di cekfakta.com. Setidaknya ada 26 tim pemeriksa fakta baik yang berbasis media maupun komunitas yang intensif menyanggah hoaks-hoaks yang beredar di media sosial dan media perpesanan. Ada beragam hoaks, baik yang berbau politik, agama, bencana, kesehatan, dan sebagainya. Pada tahun politik seperti sekarang,  topik hoaks yang paling banyak adalah politik.

Cekfakta.com Indonesia bekerja sama dengan Dewan Pers Timor-Leste (Timor-Leste Press Council/TLPC) atau Conselho de Imprensa de Timor-Leste (CI) melatih wartawan dan aktivis melakukan cek fakta. Hasilnya, TLPC kini memiliki website  cek fakta Timor-Leste dengan alamat https://fact-checking.conselhoimprensa.tl.  Website berbahasa Tetun itu diluncurkan pada Rabu (17/5/2023).  Timor-Leste Fact Check ini dimotori wartawan, anggota asosiasi jurnalis, organisasi pemuda dan staf TLPC.

Mereka akan intensif melawan misinformasi dan disinformasi yang beredar masyarakat Timor-Leste. Apalagi saat itu menjelang pemilu, banyak berseliweran informasi palsu.  “Pada masa pemilu ini, banyak berseliweran informasi palsu dan hoaks yang berbahaya bagi kelangsungan pemilu yang demokratis,”  ujar  Presiden Timor-Leste Press Council, Otelio Ote, saat peluncuran website. Sekjen Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wahyu Dhyatmika di depan pemeriksa fakta Timor-Leste mengatakan kini politikus tidak akan sembarangan berkomentar karena ada pemeriksa fakta yang akan mengecek itu fakta atau bukan.

*

Walaupun memiliki beberapa persamaan Indonesia dan Timor-Leste, ada sejumlah hal  yang berbeda. Rumah sakit pemerintah gratis bagi warga Timor-Leste, warga tak perlu membayar iuran asuransi seperti BPJS. Pendidikan di sekolah pemerintah juga gratis.  Masih di sekolah pemerintah, siswa juga mendapatkan makan siang secara gratis.

Kemudian polarisasi masyarakat tidak separah Indonesia. Memang ada kontestasi sengit. Hal biasa dalam pemilu. Akan tetapi, polarisasi atau perpecahan di masyarakat tidak seperti yang terjadi pada Pemilu Presiden Indonesia pada 2014 dan 2019 dan Pilkada DKI 2017.

Agama juga tidak menjadi bahan bakar dalam polarisasi. Mayoritas warga memeluk Katolik. Toleransi di Timor-Leste juga bagus. Setelah acara di Dewan Pers Timor-Leste kelar, saya dan teman dari Solo Adi Syafitrah diajak jalan-jalan oleh Altino Freitas Da Cruz, anggota staf Dewan Pers Timor-Leste. Awalnya kami ke Patung Kristus Raja (Christo Rei). Patung di ketinggian 90 mdpl di bukit Tanjung Fatucama itu ikon di Kota Dili. Patung setinggi 27 meter itu dibangun pada zaman Presiden Soeharto.

Lalu kami ke Kampung Alor tak jauh dari Pantai Kelapa di Kota Dili. Ada Masjid An-Nur dan sekolah Islam di sana. Altino yang beragama Katolik bercerita saat kecil sering mengantar sepupunya yang muslim ke Masjid An-Nur. Sambil menunggu sepupunya salat, Altino kecil bermain-main di depan masjid. Bahkan sekolah An-Nur juga menerima siswa Katolik. Keponakan Altino yang Katolik bersekolah di An-Nur. Tak ada masalah. Betul-betul relasi yang indah, sebagaimana eloknya pantai pasir putih di sana.

Tak perlu malu jika kita belajar kepada Timor Leste hal-hal baik. Apalagi, indeks demokrasi Timor Leste lebih baik daripada Indonesia. Berdasarkan data  Economist Intelligence Unit (EIU), di ASEAN, indeks demokrasi yang paling tinggi adalah Malaysia, disusul Timor-Leste, Filipina, Indonesia, Thailand, dan Singapura. Kemudian di bawahnya Kamboja, Vietnam, Laos, dan Myanmar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya