SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Banyak tugas dan tes saat kita masih sekolah. Dalam rutinitas keseharian, otak dijejali hal yang sering tidak dipahami dan menjadi beban. Saat itu, waktu rasanya lambat bergerak.

Begitu masuk dunia kerja dan berumah tangga, semua hal tersebut juga masih menjadi beban. Hanya saja kita telah menjadi diri sendiri, dapat memilih dan beban itu pun hampir selalu teratasi dengan baik. Saat seperti ini, waktu tanpa terasa meluncur begitu cepat. Kita terkejut saat melihat rambut telah beruban, saat membaca tulisan telah kabur, saat mengeluh ternyata pinggang mudah sakit dan saat merintih karena lutut  nyeri. Tanpa terasa anak kita pun beranjak dewasa. Kita telah menua.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Kita pun terhenyak, saat menyaksikan masih banyak pekerjaan yang belum rampung digarap. Masih banyak buku simpanan yang belum sempat dibaca. Masih banyak tulisan yang belum terselesaikan. Kita merenung serius. Lalu selama ini apa yang telah dilakukan? Amat banyak, tapi apa hasilnya? Perbaikan hidup secara material dan immaterial apa yang telah kita dan keluarha peroleh? Tampaknya menikmati kerja rutin telah melupakan apa saja yang telah dilakukan dan diterima selama ini.

Waktu adalah pedang, begitu kata orang bijak. Barangkali rangkaian ini dapat dimaknai waktu dapat menyelamatkan atau membunuh. Kewaspadaan dalam menapaki waktu dapat menyelamatkan. Namun sebaliknya, kelalaian terhadapnya dapat menghancurkan kita.

Tuhan pun mencoba menyadarkan manusia pada pentingnya memperhatikan waktu. Karena amat pentingnya,  peringatan ini tampil dalam bentuk sumpah dan menggunakan logika negasi. “Demi waktu sungguh manusia dalam keadaan merugi.” Pengecualian  hanya diberikan kepada kita yang yakin, mau bekerja bagus, dan saling membantu dalam kebenaran dan kesabaran.

Kita yang beriman pun selanjutnya diminta untuk memperhitungkan apa-apa yang dilakukan pada masa lalu sebagai perencanaan langkah ke depan. Tuhan tahu apa yang kita kerjakan dan akan meminta  pertanggungjawaban di masa yang akan datang.

Tahun baru masehi telah kita rasakan beberapa hari ini. Sudahkah kita merenungkan hasil kerja kita setahun yang baru berlalu ? Atau sudahkah kita merencakan suatu perbuatan bagus yang menjadi target utama di tahun ini? Baik target wujudiah maupun rohaniah? Jangan-jangan kita belum melakukan itu semua akibat rutinitas hidup

Sebenarnya penataan waktu salat yang ketat tiap saat merupakan contoh konkret agar kita selalu berhitung tentang waktu. Hanya sekali lagi rutinitas telah mencipta tubuh dan hati kita menjadi otomatis dan menjalaninya di bawah sadar. Orang pun kemudian menggunakan paradigma berpikir ‘biarkan hidup seperti air mengalir’ yang diterapkan secara keliru. Seakan hidup patut bersikap rutin statis, apa adanya, apatis tanpa usaha perbaikan apa pun. Diyakini bahwa garis hidup telah ditetapkan oleh Sang Pembuat Hidup dan kita tinggal menjalaninya.

Keyakinan kontraproduktif bisa memunculkan keyakinan berikutnya, bila seseorang melakukan kejahatan, itu bukan kehendaknya tapi memang kehendak dari Sang Pembuat Hidup karena yang bersangkutan hanyalah wayang yang tidak kuasa mengatur Sang Dalang. Kita berlindung kepada Allah Swt terhadap keyakinan demikian.

Dalam makna ‘air mengalir’ harusnya tersimpan pemikiran tentang adanya kelembutan sekaligus kekuatan, kehidupan sekaligus kematian, kesabaran sekaligus perjuangan, dan seterusnya. Dengan demikian hidup merupakan pilihan, setiap diri diberi kebebasan dengan segenap konsekuensinya. Biarlah hasil akhir ditentukan Sang Pembuat Hidup.

Semoga  kita belum lupa pada untaian indah ‘hari ini harus lebih baik dari hari kemarin’. Manakala hari ini sama dengan kemarin, dia termasuk orang merugi. Dan jika hari ini lebih buruk dari kemarin, dia termasuk orang celaka.

Sayangnya waktu tak bisa mundur ke belakang. Rutinitas pun tetap harus kita jalani. Tetap melangkah ke depan, dengan selalu menyegarkan kesadaran pada setiap momen adalah sikap yang bijak. Sambil  berupaya terus dan serius untuk tidak menjadi orang merugi, apalagi celaka. Subhanallah (Mahasuci Allah).

Dedi Pramono

Dosen Universitas Ahmad Dahlan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya