SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Semarangpos.com, SEMARANG — Garis-garis halus yang membentuk keriput tampak memenuhi wajah Soesilo Toer. Namun, suara kakek berusia 81 tahun itu masih terdengar lantang di depan ratusan orang yang memenuhi ballroom Hotel Pandanaran, Semarang, saat acara Penganugerahan Penghargaan Prasidatama Balai Bahasa Jawa Tengah (Jateng), Kamis (25/10/2018).

Soesilo Toer hadir pada acara itu untuk memenuhi undangan sebagai pembicara. Namun, ternyata adik dari sastrawan legendaris Tanah Air, Pramoedya Ananta Toer, itu juga didapuk sebagai salah satu penerima penghargaan Prasidatama.

Promosi Klaster Usaha Rumput Laut Kampung Pogo, UMKM Binaan BRI di Sulawesi Selatan

Soesilo Toer mendapat penghargaan untuk kategori penulis novel untuk karyanya berjudul Dunia Samin.

Mendapat penghargaan ini, Soesilo Toer merasa terharu. Ia tak menyangka karya sastranya yang disusun sejak 1963 itu mendapat apresiasi dari Balai Bahasa Jateng.

“Saya enggak mikir sampai ke sana [dapat penghargaan]. Harusnya bukan saya, tapi [Triyanto] Triwikromo. Dia menulis lebih banyak dari saya. Ya terharu saja,” ujar kakek yang akrab disapa Soes itu saat berbincang dengan Semarangpos.com.

Soes lantas menceritakan novel Dunia Samin yang diterbitkan pada 2017 itu. Ia mengaku Dunia Samin sebenarnya sudah disusunnya sejak masa remaja. Namun, buku itu terus ia perbarui saat berada di Rusia, menempuh kuliah pascasarjana (S2) dan sekembalinya dari luar negeri.

Soes menambahkan Dunia Samin bercerita tentang kehidupan masyarakat Sedulur Sikep atau pengikut ajaran Samin, yang banyak terdapat di wilayah Blora, Rembang, dan Pati, Jawa Tengah (Jateng). Dalam berkehidupan, masyarakat Samin kerap dianggap sebagai sosok yang keras kepala.

Soesilo Toer menerima penghargaan dari Balai Bahasa Jateng di Hotel Pandanaran, Semarang, Kamis (25/10/2018). (Semarangpos.com - Imam Yuda S.)

Meski demikian, masyarakat Samin dikenal sebagai kelompok masyarakat yang mengusung kearifan lokal.

“Samin itu sufi-nya orang Jawa. Mereka enggak mau ngiri [iri hati], jujur, dan selalu mengusung kearifan lokal. Mereka juga hidup sederhana, ibarat minum dari air kendi, mandi juga di sungai,” ujar pria yang pernah menjadi tahanan politik di Nusakambangan dan Pulau Buru itu.

Soes mengatakan di usia senja ini, dirinya tidak akan berhenti menciptakan karya-karya baru di bidang sastra. Pemegang gelar doktor dari universitas di Rusia itu mengaku sudah menyelesaikan 150 buku baru, yang akan segera diterbitkan dalam waktu dekat.

Kendati demikian, ia tidak akan berhenti dari pekerjaan yang saat ini digeluti, yakni memulung. Soes kerap memunguti sampah yang berserakan di Kota Blora.

 “Saya ini rektor alias tukang resik-resik hal-hal yang kotor. Jadi, enggak masalah dengan memulung. Memulung lebih baik daripada main perempuan,” ujar Soes.

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya