SOLOPOS.COM - Muhammad Khambali/Istimewa

Solopos.com, SOLO -- Sejauh ini modernitas dan pembangunan kota belum sepenuhnya diikuti dengan kehendak inklusif. Bagi warga kota yang tergolong minoritas, kaum difabel, kota belum banyak menyediakan akses yang semestinya.

Aksesibilitas ini menyangkut terberinya kesempatan yang sama dan kemudahan yang setara. Hak itu selayaknya ditemukan pada gedung-gedung, sarana transportasi, dan ruang publik lainnya. Bagi seorang penyandang disabilitas, akses dapat dimaknai sebagai hak yang sama untuk dapat mencapai, menggunakan, dan menikmati sebagai bagian dari warga kota.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Wacana aksesibilitas bagi minoritas difabel masih terabaikan lantaran cara pandang atas isu disabilitas sebagai isu individual masih dominan. Cara pandang demikian, seperti yang diungkapkan Colin Barnes dan Geof Marcer dalam Disability (2003), menempatkan disabilitas dilihat sebagai tragedi personal.

Difabilitas dipandang hanya sebagai suatu masalah yang melekat pada seorang difabel semata. Dalam kacamata tersebut, isu disabilitas belum dipandang sebagai konsekuensi dari konstruksi sosial yang menindas dan tidak setara. Akomodasi atas ruang publik bagi difabel hanya mungkin dengan memahami mereka bagian dari komunitas sosial para penghuni ruang kota.

Paul T. Jaeger dan Cynthia Ann Bowman dalam buku Understanding Disability: Inclusion, Access, Diversity, and Civil Right (2005) mengutarakan mengenai pemenuhan akses fisik dan akses pengetahuan bagi difabel. Kedua akses itu mendesak untuk dipenuhi apabila menghendaki inklusivitas, kesetaraan, atau ekuitas.

Akses fisik itu dipahami lebih dari sekadar dapat memasuki sebuah ruang fisik, tetapi juga kemungkinan bagi seseorang untuk melakukan orientasi dan mobilitas secara independen. Misalnya, seorang pengguna kursi roda hendak pergi ke sebuah tempat perbelanjaan. Mungkin di gedung tersebut terdapat ramp, pintu otomatis, lift, dan kemudahan lain saat memasuki.

Ketika berada di dalam toko, sepotong kemeja ternyata diletakkan di tempat yang tinggi dan tidak mungkin dapat dijangkau oleh seorang pengguna kursi roda. Pengguna kursi roda tersebut memiliki akses untuk menuju ke sebuah ruang (toko), tetapi tak memperoleh akses atas apa yang ada di dalamnya (kemeja).

Tentu saja ilustrasi semacam itu bukan bermaksud meribetkan persoalan atau alih-alih kehendak untuk menciptakan situasi yang memanjakan difabel agar semuanya serbamudah. Pengejawantahan kesetaraan bagi difabel bukan dengan melebih-lebihkan.

Ilustrasi itu semata-mata untuk memperlihatkan dalam penataan ruang, arsitektu bangunan, sering kali sekadar memakai kacamata nondifabel. Tidak pernah, misalnya, terpikirkan sewaktu mendesain mengemuka pembahasan agar difabel bisa mengaksesnya pula.

Empati

Dalam kasus yang lebih sederhana dan jamak, gedung-gedung publik seperti mal, sekolah, kantor pemerintahan, dan tempat ibadah belum dilengkapi dengan ramp atau tangga landai. Kalau pun sudah tersedia, ramp tersebut memiliki sudut kelandaian yang tidak masuk akal untuk dilintasi pengguna kursi roda.

Bukannya memberi kemudahan dan keamanan, ramp yang dibikin asal-asalan dengan sudut yang terlalu curam justru berpotensi mencelakakan difabel. Ketiadaan akse menuju dan di dalam sebuah bangunan sering memisahkan seseorang dengan kondisi disabilitas orang lain dalam struktur kehidupan kita.

Ruang tanpa disadari mengucilkan mereka—kaum difabel--dari orang-orang yang lain. Situasi semacam ini kerap terjadi. Arsitektur dan rancang ruang urban sering meminggiran sebagaian sesama warga kota. Kalaupun ada akses bagi kaum minoritas sifatnya cenderung disediakan secara asal-asalan, seperti pada pembuatan tangga landai dan pemasangan guiding block di jalur pedestrian untuk membantu difabel netra.

Arsitektural semacam itu pada akhirnya tetap membatasi ketimbang memudahkan kaum difabel. Selain akses fisik, akses pengetahuan menjadi isu lain yang belum mendapat kepedulian sebagaimana mestinya. Akses pengetahuan dapat dilihat dari adanya kemudahan memperoleh informasi.

Pada era informasi yang sedemikian melimpah, ketersediaan akses informasi untuk difabel jelas sangat mendesak. Ketiadaan akses hanya akan terus mengekalkan lingkaran setan yang melucuti hak-hal difabel. Membikin mereka terus-menerus terbelakang dan tertindas.

Keterbelakangan sering kali terjadi sama sekali bukan berkaitan dengan intelektualitas, melainkan ketiadaan akses yang sama untuk berliterasi dan mencerap pengetahuan. Akses informasi berkenaan dengan bagaimana sebuah informasi diberikan, diatur, dan ditampilkan agar memungkinkan dipahami oleh seseorang yang memiliki hambatan—seperti penglihatan, pendengaran, dan fisik.

Informasi Tersampaikan

Tujuannya tentu kebutuhan atas infomasi itu tersampaikan kepada mereka, seperti pada papan petunjuk lokasi atau ruang, informasi jadwal sarana transportasi, dokumen digital, website, dan layanan perpustakaan. Idealnya, seorang yang memiliki hambatan penglihatan butuh informasi dengan huruf cetak besar, Braille, atau pengeras suara.

Seorang yang memiliki hambatan pendengaran butuh informasi berbentuk gambar atau visualisasi serta situasi sosial-kultural yang terbiasa dengan bahasa isyarat. Dengan berkembangnya Internet dan teknologi, akses yang setara atas informasi elektronik akan menjadi teramat penting dan potensial.

Teknologi asistif atau bantuan dapat membuka peluang-peluang keterbacaan media yang pada masa lalu sulit didapat oleh kaum difabel, misalnya program pembaca layar atau screen reader dan verbalisasi tampilan di layar komputer yang membuat seseorang dengan hambatan penglihatan dapat mendengar informasi yang tidak mungkin bisa mereka lihat.

Akses-akses itu menjadi bagian dari arsitektural ruang publik inklusif. Aktivis difabel di Amerika, Todd Byrd, dalam artikel berjudul Deaf Space (2007) bercerita tentang proyek “ruang-tuli” seorang arsitektur bernama Hansel Bauman. Ini sebuah inisiatif untuk mengembangkan arsitektur berdasarkan orang tuli berinteraksi dengan lingkungan.

Bauman, seperti dikutip Tyrd, percaya bahwa arsitektur adalah salah satu kunci budaya memanifestasikan diri di dunia fisik. Byrd menyebut sebagai upaya ”memvisualisasi kemungkinan”. Arsitektural dapat menjadi katalis. Arsitektur dapat menjadi cermin kultural dan nalar spasial atas ruang kota yang ramah terhadap budaya tuli.

Tentu saja arsitektural yang ramah terhadap difabel hanya mungkin dimulai apabila kita melesapi syak wasangka terhadap difabel. Kita tidak hidup dalam dunia yang berbeda, karena itu tak ada alasan rancangan ruang kota memisahkan mereka dari kehidupan bersama.

Kita memerlukan kacamata baru, cara pandang arsitektural dan meruang yang didasari empati dan kemanusiaan. Aviati Armand dalam Arsitektur yang Lain (2017) mengutarakan makna arsitektur yang sesungguhnya adalah untuk manusia.



Dalam arsitektur yang pertama-tama adalah mengangkat harga diri dan martabat manusia. Meski tidak spesifik berbicara mengenai arsitektur bagi difabel, Avianti Armand mengatakan sebuah wajah arsitektur yang lain ialah yang berempati kepada yang lemah dan liyan.

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya