SOLOPOS.COM - Didik Setyo Lelono (Foto: Nenden Sekar Arum/JIBI/SOLOPOS)

Didik Setyo Lelono

Didik Setyo Lelono (Foto: Nenden Sekar Arum/JIBI/SOLOPOS)

Hari Kamis (6/9/2012) menjadi hari yang membahagiakan bagi Didik Setyo Lelono. Pria asal Gemolong itu berhasil menanggalkan predikatnya sebagai mahasiswa setelah menjalani pendidikan selama 14 semester di Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.

Promosi BRI Sambut Baik Keputusan OJK Hentikan Restrukturisasi Kredit Covid-19

Hari itu tak hanya jadi hari yang membanggakan dan melegakan bagi Didik, tetapi juga bagi kedua orangtua, adik, dan beberapa tetangga yang mengantarkannya mengikuti prosesi wisuda. Mereka menjadi saksi perjuangan pria berumur 25 tahun untuk memperoleh gelar sarjana tak sia-sia.

Perjuangan yang dilakukan Didik bisa dibilang luar biasa dibandingkan rekannya yang lain, Didik harus bekerja susah payah agar bisa menghidupi dirinya dan membayar biaya kuliahnya. Sejak semester V Didik sudah menjadi pekerja serabutan hanya untuk tidak membebani orangtuanya.

Berbagai pekerjaan dilakoni pria berkacamata itu, mulai dari menjadi tukang foto untuk buku kenangan SMP dan SMA, menjadi drafter atau penggambar desain rumah, membantu teman di warung sate, bahkan menjadi tukang kuli angkut di Pasar Gemolong. “Saat menjadi kuli angkut di Pasar Gemolong per hari bisa dapat Rp30.000. Uang segitu cukup untuk biaya hidup,” paparnya seusai proses wisuda Kamis siang.

Kakak dari seorang adik perempuan itu terpaksa berhemat dengan menyisakan sebagian penghasilannya agar dapat ditabung untuk membayar biaya kuliahnya. Pasalnya selama kuliah di UNS samasekali ia tidak pernah menerima dan mengajukan diri untuk mendapatkan beasiswa dari kampus. “Saya yakin kalau bisa membiayai kuliah sendiri, lagipula masih banyak yang lebih membutuhkan dari saya,” jelasnya.

Mengenai perjuangan Didik selama ini, ternyata tidak diketahui oleh kedua orangtuanya, bahkan sampai diwisuda hari itu pun, ayah dan ibunya tidak tahu kalau selama ini Didik harus banting tulang mulai dari semester IX untuk membiayai kuliahnya. “Ayah dan ibu hanya tahu kalau saya kuliah, tapi tidak pernah tahu kalau saya sampai harus kerja menjadi kuli angkut. Kalau mereka tahu sudah pasti dilarang,” paparnya.

Didik merupakan satu-satunya keturunan dari keluarganya yang berhasil mengenyam pendidikan tinggi, sedangkan keluarga lainnya tergolong berpendidikan rendah. Ibunya yang menjadi penjual di warung tenda di dekat Terminal Gemolong sama sekali tidak mendapatkan pendidikan formal di sekolah, sedangkan ayahnya hanya seorang lulusan SD. Oleh karena itu rasa bangga tidak dapat disembunyikan Didik. “Dari keturunan mbah, saya satu-satunya yang jadi sarjana,” ungkapnya dengan senyum yang tak henti terkembang.

Setelah lulus kuliah, alumnus UNS yang sempat bercita-bercita masuk pelayaran tersebut sudah menerima panggilan kerja dari sebuah perusahaan baja di daerah Banten. “Setelah ini saya berharap agar secepat mungkin segera diterima bekerja,” harapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya