SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Naufil Istikhari Kr, Aktif di Lingkaran Metalogi FISHUM UIN Sunan Kalijaga Jogja (ist)

Sejak dikeluarkannya Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) 10 Desember 1948 oleh PBB, diskursus hak menjadi isu global yang paling bergengsi. Berawal dari sini, gerakan perdamaian dan perjuangan melindungi hak-hak asasi gencar seantero dunia. Agama juga ikut-ikutan memobilisasi deklarasi tersebut.

Promosi 204,8 Juta Suara Diperebutkan, Jawa adalah Kunci

Gereja Katolik yang semula terlihat skeptis terhadap HAM, pada akhirnya mengakui dalam Ensiklik Pacem in Terris (1963) dan dokumen Konsili Vatikan II Dignitatis Humanae (1965). Pada 1970-an pengakuan serupa muncul dari gereja-gereja Protestan lewat World Council of Churches. Tak ketinggalan, Islam juga mengeluarkan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia Islam (1981) yang disahkan Islamic Council of Euroupe, berpusat di Turki.

Ingar bingar diskursus hak-hak asasi tentu membawa bias yang tidak sederhana bagi negara-negara di dunia, demikian pula di Indonesia. Jika berbicara hak di Asia secara umum, barangkali pemenuhan ”hak” tersebut tidak begitu problematis mengingat kultur Asia cukup beragam serta lahir dari pandangan filosofis yang (mungkin) banyak kesamaannya. Tetapi, yang merisaukan justru ketika kita bertitik tolak dari aras kebudayaan kita sendiri, Indonesia.

Secara historis, konsep hak-hak asasi cukup dilematis bagi budaya Indonesia. Ada konsep ”kewajiban” yang selalu menjadi landasan aksiologis dalam relasinya dengan masyarakat dan kebudayaan lain. Di Barat muncul deklarasi universal tentang dialektika hak, di Indonesia ada semacam deklarasi tentang kewajiban-kewajiban yang diamini secara kolektif.

Dua kutub dialektis yang berada pada garis berseberangan itu, setidaknya, memantik pertanyaan mendasar di benak kita: mana lebih utama antara memenuhi hak atau kewajiban? Hal itu mirip dengan pertanyaan: lebih dulu mana antara ayam dan telur. Terkesan konyol, namun itulah realitas yang kita hadapi.

Deklarasi hak di Barat lahir akibat ketegangan sosial, politik, ekonomi serta agama di bawah bayang-bayang Perang Dunia I dan II. Gerakan Nazisme di Jerman serta Fasisme di Italia menjadi ujung tombak kelahiran deklarasi HAM yang secara kasat mata menyebabkan pembumihangusan hak-hak masyarakat Eropa dengan terlampau menyedihkan. Lalu, bagaimana dengan konsep HAM di Indonesia?

Adalah Oswald Spengler (1880-1936) yang menyatakan hak sebagai hasil kewajiban-kewajiban; kewajiban adalah hak orang lain atas diri kita. Gagasan Spengler tampak sesuai dengan aras kebudayaan kita yang sedari dulu kurang akrab dengan istilah ”hak-hak asasi”.

Horizon kebudayaan kita mendorong aspek kewajiban sebagai postulat ide dialektika tadi. Bahkan dalam tradisi Jawa, alasan kewajiban mengalahkan hak dengan sendirinya. Mereka masih asing terhadap diskursus hak. Term kewajiban jauh lebih akrab dalam dinamika kebudayaan mereka.

Dinamika

Dalam buku terbarunya, Hak-Hak Asasi Manusia: Polemik Dengan Agama dan Kebudayaan (2011), F Budi Hardiman mencatat polemik antara hak dan kewajiban sebagai bagian dari kendala kultural kita dalam memperjuangkan keadilan. Ia mengingatkan agar dominasi konsep kewajiban tidak merelatifkan hak-hak asasi yang sejatinya jauh lebih penting.

Persoalan heterogenitas budaya memang tak kalah problematisnya untuk merealisasikan konsep universal HAM di Indonesia secara membumi. Akan tetapi, jika kita memaknainya dengan tepat, justru akan memberikan kekuatan besar yang menguntungkan.

Clifford Geertz (1996) menyatakan Indonesia adalah contoh yang mengesankan untuk kompleksitas internal yang begitu rumit. Dipandang secara kultural, negeri ini, sebagaimana kita ketahui, adalah salah satu negara yang paling majemuk di dunia yang merupakan hasil dari arus mentalitas-mentalitas yang saling bertentangan—entah mentalitas Portugis, Spanyol, Belanda, India atau China; entah mentalitas Hinduisme, Buddhisme, Konfusian, Muslim atau Kristiani; entah mentalitas kapitalis, komunis atau administratif imperial.

Cacatan Geertz mengenai budaya Indonesia merupakan jejak antropologis yang cukup representatif untuk menengahi kontroversi antara hak dan kewajiban. Dialektika yang diamati Geertz telah menggambarkan dinamika ”hak” yang bersentuhan langsung dengan ”kewajiban”.

Meskipun sebenarnya kita tidak mengenal Magna Charta atau Bill of Right, sisi kelam historis kita mampu menghadirkan lukisan berharga mengenai perjuangan hak-hak asasi tersebut.

Istilah ”hak” dapat dirujuk pada kejadian-kejadian penting pada masa lalu. Menurut Hardiman, dalam sejarah Jawa selalu saja muncul pemberontakan-pemberontakan petani, perjuangan-perjuangan kemerdekaan atau protes-protes dari wong cilik melawan petinggi-petinggi mereka maupun tuan-tuan kolonial. Aksi-aksi perjuangan emansipatoris itu antara lain didokumentasikan Multatuli dalam buku berjudul Max Havelaar. Dan itu jelas lahir dari tuntutan hak-hak mereka.

Tak hanya itu, ide tentang Ratu Adil turut memengaruhi lahirnya gerakan-gerakan yang bercorak utopis. Koentjaranignrat menyebut ide mesianis tersebut sebagai etika harmoni. Etika harmoni sejatinya adalah kelanjutan dari dialektika hak dan kewajiban yang saling melengkapi. Etika tersebut lebih mirip etika Aristotelian ketimbang etika Kantian dalam ranah filsafat Barat. Budaya Jawa secara khusus, dan Indonesia secara umum, mendasarkan diri pada the idea of good life, bukan pada the idea of justice.

Latar belakang historis yang kelam kiranya sangat pas menghadirkan etika hak yang sublim dengan etika kewajiban. Tak boleh dilupakan bahwa deklarasi hak-hak asasi merupakan jawaban atas pengalaman-pengalaman ekstrem penderitaan dan ketidakadilan.

Antara hak dan kewajiban tidak boleh dipertentangkan secara biner, keduanya memotret harmoni kausal yang saling menopang.

Perjuangan melawan imperialisme adalah bukti nyata bahwa sejarah kebudayaan kita tidak hanya berkutat pada ranah kewajiban an sich. Para pejuang kemerdekaan melawan kaum penjajah tak lain karena hak-hak pribumi dirampas dan dijarah.

Situasi konflik memungkinkah kita lebih paham akan budaya hak daripada kewajiban. Perbedaan pandangan jangan sampai menjadi tembok yang menghalangi kita memperjuangkan hak-hak universal manusia. Menunaikan kewajiban berarti mendahulukan hak orang lain, dan dengan mengutamakan hak kita telah melakukan kewajiban.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya