SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

GUNUNGKIDUL—Keberadaan bidan desa di wilayah pelosok perlu perhatian lebih. Bidan desa yang multifungsi memberikan layanan kesehatan di pedesaan jumlahnya minim.

Seperti di Kabupaten Gunungkidul terdapat satu bidan desa yang harus melayani 4.000 jiwa dengan tantangan medan geografis pegunungan. Bidan itu adalah Dwi Maryati yang bertugas di Desa Natah, Kecamatan Nglipar.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sebagai Bidan Pembina di wilayah Desa Natah, Dwi Maryati yang telah berpuluh-puluh tahun bertugas itu harus siap siaga 24 jam. Ia menuturkan saat malam ketika terdapat masyarakat yang butuh pertolongan pun harus siap, terutama untuk kelahiran bayi.

Padahal  jarak antar dusun yang mencapai lebih dari tiga kilometer dengan medan sulit dijangkau dengan kendaraan. Jika panggilan permintaan pertolongan terjadi secara bersamaan maka kerapkali bidan desa merasa dilematis.

Soal sulitnya medan, ia mengisahkan pernah memberikan pertolongan terhadap ibu yang akan melahirkan harus dipikul layaknya batang kayu ukuran besar karena kendaraan tidak bisa masuk ke lokasi.

Pemandangan itu, kata Dwi Maryati, bukan hal yang aneh seperti yang pernah dilakoninya di Dusun Pringombo, Desa Natah, Nglipar karena masih terisolasi. Bahkan pada awal 2010 lalu peristiwa itu masih terjadi.

“Makanya kami juga menyebut encek [alat untuk memikul terbuat dari kayu dan bambu] yang biasa digunakan untuk memikul ibu yang akan melahirkan itu juga sebagai ambulans desa,” terang Dwi kepada Harian Jogja, Jumat (27/1).
Menurut Dwi keberadaan dukun di pedesaan bukan masalah bagi bidan desa justru, ia menjadikan dukun beranak sebagai mitra dalam memberikan pertolongan ibu melahirkan. Meski demikian sejak lima tahun terakhir masyarakat perlahan mulai beralih menggunakan tenaga kesehatan jika melahirkan. Hal itu sesuai dengan data di Puskesmas Nglipar 2 pada 2011 dari 230 kelahiran 226 melahirkan di tenaga kesehatan dan empat kelahiran di dukun bayi.

Peralatan darurat pun seadanya asal sudah memenuhi standar dari Dinas Kesehatan, akan tetapi kemampuan medis harus banyak dikuasainya karena masyarakat desa yang mendatangi bidan banyak yang berobat karena penyakit lain. “Kalau bidan biasanya peralatan sendiri, sebelum menjadi bidan melalui seleksi di dinas kesehatan seperti keahlian dan peralatan harus ada oksigen, biasanya harus standar Permenkes dan itu disediakan bidan sendiri” ujar wanita yang juga membuka praktek bidan di rumahnya ini.

Honorer dan PTT
Terpisah Kepala Dinas Kesehatan Gunungkidul, Sri Raharto mengakui jika Gunungkidul masih kekurangan banyak bidan desa. Dari 144 desa di Gunungkidul belum semuanya yang sudah terdapat bidan desa. Untuk meningkatkan kualitas SDM bidan desa pihaknya sudah menggelar sejumlah pelatihan serta memberikan bekal magang bagi kader bidan desa sebelum diterjunkan ke masyarakat. “Kalau kurang memang kekurangan [bidan desa] banyak sekali tetapi jumlahnya kami belum bisa tentukan, karena tidak semua desa ada bidan desa,” ungkap Sri.

Sedangkan di Kulonprogo, jumlah bidan yang ditangani Dinas Kesehatan Kulonprogo terdapat 60 orang. Status kepegawaian mereka saat ini tercatat sebagai pegawai tidak tetap (PTT). Sayangnya, berbeda dengan pegawai honorer yang memenuhi syarat pengangkatan jadi CPNS, para bidan justru tidak masuk calon CPNS yang diseleksi.

Kepala Bagian Umum dan Kepegawaian Dinas Kesehatan Kulonprogo, Tunzinah menjelaskan, dari sekitar 40 Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) yang tersebar di 40 desa se-Kulonprogo, masih ada beberapa bidan yang tidak menempati pos yang disediakan. Alasannya, karena lokasi pos yang disediakan terpencil dan sebagian bidan masih takut untuk menempati. “Maksudnya begini, bidan-bidan yang tidak menempati pos yang disediakan itu memilih nglaju [pulang pergi],” jelas Tunzinah.

Kondisi tersebut, jelas dia, tidak mengganggu pelayanan kepada masyarakat. Disinggung soal kekurangan bidan, Tunzinah menepis penilaian tersebut. Meski jumlah desa di Kulonprogo terdapat 88 desa dan hanya tersedia 40 Poskesdes, desa-desa yang belum memiliki Poskesdes sudah dilengkapi dengan Postu atau Poskesdes pembantu.

Dari Kabupaten saat ini ada 50 orang bidan desa yang berada di antara masyakarat Sleman yang membantu warga mengembangkan desa siaga. Kepala Seksi Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat dan Promosi Kesehatan Endah Nur Santi mengatakan keberadaan bidan desa saat ini memang mengurusi masalah yang kompleks. Mereka tidak lagi hanya berkutat pada urusan persalinan namun sudah berkembang mengurusi pengembangan desa siaga.

Selain bidan desa, sebenarnya masih ada bidan PNS yang juga menjadi ujung tombak sosialisasi kesehatan di masyarakat Sleman. Bidan PNS ini sebenarnya peningkatan status bidan desa. “Kalau bidan desa itu kan dikontrak tiga tahunan saja, kalau bidang PNS itu bidan desa yang telah menjadi pegawai pemerintah,” kata Endah.

Sementara itu bidan desa di Poskedes Tridadi Nia mengatakan jika menjadi bidan desa adalah panggilan. Baginya melayani masyarakat itu menjadi pilihan dan bukan semata-mata untuk mendapatkan materi saja.

Di Kabupaten Bantul munculnya balai-balai pengobatan dan dokter-dokter swasta, meringankan tugas bidan desa. Hal ini disampaikan Fitri Puji Astuti, bidan desa Timbulharjo, Kamis (28/1) saat ditemui Harian Jogja di Puskesmas Sewon I. Pemahaman tentang pentingnya kesehatan bagi sebagian masyarakat dirasakan masih kurang. Khususnya di daerah-daerah di pedesaan. Namun, seiring banyak bermunculan praktik-praktik dokter swasta, balai pengobatan dan rumah bersalin di kawasan kabupaten Bantul, mulai merangsang kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan.

Sementara itu Staf Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Keshatan DIY, Pra Hesti kepada Harian Jogja menyatakan, sebagian dari total bidan se-DIY masih berstatus honorer yang diangkat pemerintah kabupaten/kota.

“Sebagian ada yang sudah PNS lainnya belum,” terang Pra Hesti. Pemprov menurutnya tak berwenang melakukan pengangkatan. Adapun berapa standarnya jumlah bidan per desa sangat tergantung dengan jumlah ibu hamil dan balita. Adapun  pemerintah provinsi sejauh ini hanya memfasilitasi pelatihan dan pembinaan serta paket bantuan peralatan kebidanan. Paket bantuan di antaranya berupa stetoskop, timbangan, alat ukur lingkar lengan dan pengkukur tensi darah.  “Seperti bidan kit terakhir tahun lalu diberikan, biasanya kami membantunya cuma seperti itu. Karena penambahan bidan atau enggak tergantung kabupaten atau kota,” ujarnya.(HARIAN JOGJA/BES/HON/JON/HAR/TON)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya