SOLOPOS.COM - Andy Suryadi, Putra anggota Polri, Dosen di Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, Alumnus Lembaga Pelatihan Jurnalistik SOLOPOS (LPJS). (ist)

Andy Suryadi, Putra anggota Polri, Dosen di Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, Alumnus Lembaga Pelatihan Jurnalistik SOLOPOS (LPJS). (ist)

Terkait kasus pemecatan Briptu Norman Kamaru karena indisipliner beberapa waktu lalu, Kadivhumas Mabes Polri Irjen Pol Saud Usman Nasution dengan tegas merekomendasikan perlunya tes psikologi bagi anggota Polri agar perilaku seperti yang dilakukan Norman tidak terulang.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Entah apa lagi yang akan dikatakan petinggi di Mabes Polri tersebut saat mengetahui kasus Iptu Marsono, Wakapolsek Jatinom, Klaten, yang diduga depresi hingga menganiaya orangtuanya sendiri sampai meninggal, serta melukai 5 orang tetangganya bahkan merusak kantornya.

Apa pula yang akan dilakukan Mabes Polri ketika Aiptu Yosep Resubun, anggota Polres Kepulauan Yapen, Papua  yang juga depresi, beraksi ala Sondang Hutagalung, membakar diri hingga menyebabkan asramanya hangus terbakar (Rabu, 13/12/2011).

Tragis dan ironis, aparat negara yang semestinya menjaga ketertiban dan keamanan justru menjadi sumber ketidakamanan. Mana janji Polri untuk rutin melakukan pengecekan psikologis terhadap anggotanya? Bagaimana pula pelayanan kesehatan Polri terhadap anggotanya yang terdeteksi mengalami depresi?

Jujur, saya kaget dan prihatin mendengar tragedi yang menimpa Iptu Marsono dan keluarganya. Paling tidak ada dua alasan yang mendasari keprihatinan saya. Pertama, saya dan Marsono sama-sama berasal dari daerah Jatinom dan juga sama-sama dari keluarga anggota Polri. Kedua, saya sudah lama mendengar janji Polri untuk rutin mengecek perkembangan psikologis para polisi. Kabar amuk Iptu Marsono dan aksi bakar diri Aiptu Yosef Resubun akibat tekanan psikologis yang mereka alami tentu mengagetkan.

Janji pemimpin Polri untuk rutin mengecek kondisi psikologis anggotanya begitu keras didengungkan pascainsiden penembakan AKBP Lily Purwanto (saat itu Wakapolwil Semarang) oleh Briptu Hance yang kalap akibat sanksi dari kantornya  awal 2007. Namun, setelah lebih dari empat tahun, berbagai tragedi yang disebabkan anggota Polri yang mengalami tekanan psikologis masih terus terjadi sehingga dapat dikatakan janji Polri soal pemeriksaan psikologis layak disangsikan.

Padahal jika kondisi ini dibiarkan, kemungkinan terulangnya tragedi sangat terbuka, bahkan dengan korban yang mungkin lebih banyak. Coba bayangkan apa jadinya jika saat itu Iptu Marsono bersenjata api? Warga yang dianiaya mungkin akan bernasib lebih tragis.

Selain persoalan pengecekan psikologis, penting juga dipertanyakan bagaimana penanganan dan pelayanan dari institusi Polri ketika ada anggotanya yang terdeteksi mengalami depresi seperti Iptu Marsono dan Aiptu Yosef Resubun.

Ini penting dipertanyakan mengingat fakta kasus depresi dua anggota Polri tersebut sudah terjadi beberapa kali. Artinya, kondisi dan kemungkinan risikonya seharusnya dipetakan. Sebelumnya, Iptu Marsono juga pernah mengamuk di Mapolres Klaten.

Aiptu Yosef Resubun bahkan pernah hendak membakar Mapolda Papua pada awal 2011.

Korban
Jika Polri sudah mengetahui hal tersebut, namun tidak melakukan penanganan pemulihan, kesalahan atas insiden tersebut mestinya tidak boleh mutlak dibebankan pada yang bersangkutan.

Dalam konteks ini, mereka sesungguhnya bukan oknum melainkan korban dari minimnya pelayanan kesehatan dari institusi Polri terhadap anggotanya. Agar tercipta kenyamanan, sebagai warga masyarakat rasanya kita berhak menuntut institusi Polri agar pemeriksaan psikologis secara rutin dan penanganan bagi anggota yang mengalami depresi serius dilaksanakan.

Penanganan serius terhadap anggota yang mengalami depresi ini sangat penting karena jika berhenti pada pemeriksaan rutin dan membiarkan anggota yang menderita untuk memulihkan dirinya sendiri, itu sama saja bohong.

Pertama, mustahil mereka akan mengobatkan diri jika mengalami depresi. Berdasar logika sosial di masyarakat jika memeriksakan kondisi psikologis akan dianggap menjustifikasi diri ”kurang waras”, meskipun anggapan tersebut tidak benar.

Kedua, mereka juga harus repot mengurus perizinan dan pembiayaan sendiri. Jika demikian, bisa-bisa anggota yang menderita depresi akan lebih parah depresinya.

Sebagai institusi yang mengutamakan disiplin dan ketaatan, perizinan memang bukan hal yang mudah diperoleh anggota Polri.  Minimnya pelayanan kesehatan bagi anggota Polri yang sakit juga menjadi problem tersendiri yang sering dipertanyakan.

Berbeda dengan PNS atau abdi negara lain yang memperoleh fasilitas asuransi kesehatan yang memungkinkannya berobat secara gratis sesuai golongan, pelayanan kesehatan terhadap anggota Polri dapat dikatakan sangat minim.

Mereka hanya mendapatkan fasilitas setaraf Askes jika berobat di RS Bhayangkara yang hanya berlokasi di ibukota provinsi. Dapat dibayangkan jika mereka dalam kondisi darurat serta berada dalam jarak yang sangat jauh dari ibukota provinsi.

Bayangkan pula berapa ongkos mobilitas serta ongkos sosial jika mereka jauh dari RS Bhayangkara. Selain di RS Bhayangkara, ada mekanisme lain dalam sistem layanan kesehatan Polri yang dikenal sebagai ”restitusi”.

Misalnya seorang anggota Polri sakit kemudian dirawat di rumah sakit rujukan dari kesatuan setempat, selanjutnya akan diajukan biaya penggantian. Biaya penggantian ini yang disebut sebagai ”restitusi”. Namun, berdasarkan pengalaman, biaya penggantian ini tidak sepenuhnya mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh keluarga.

Berpijak dari pengalaman pahit di atas, sudah semestinya Polri terus bebenah untuk memperbaiki diri. Bukan hanya sebatas reformasi birokrasi, namun juga penting untuk mereformasi aspek-aspek yang lain termasuk pelayanan kesehatan anggota.

Terlebih jika itu berpotensi menimbulkan masalah di masyarakat seperti polisi yang mengamuk karena depresi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya