SOLOPOS.COM - ilustrasi

ilustrasi

Sosok jenazah atau mayat bagi kebanyakan orang menyiratkan kengerian karena cerminan berakhirnya hidup. Meski demikian sebelum dikubur, para jenazah itu kerap memerlukan sentuhan akhir yang melibatkan pemulasara. Berikut kisah suka duka petugas perawatan mayat itu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kebanyakan orang umumnya takut berhadapan dengan jenazah, namun ketakutan itu kerap diabaikan para petugas pemularasa. Abai terhadap rasa takut juga dilakukan petugas pemulasara di RSUP dr. Sardjito.

Dumono, 49, salah seorang pemulasara yang bertugas di RSUP dr. Sardjito sudah 13 tahun terakhir menghadapi jenazah berbagai bentuk. “Awalnya sempat takut, namun lama-lama sudah terbiasa,” imbuhnya saat berbincang di kantornya, Selasa (19/6).

Pemulasara jenazah seperti Dumono bertugas merawat jenazah sesuai agama sebelum dimakamkan. Petugas biasanya memandikan, mengkafani, mensalatkan dan bahkan penguburan jika ada permintaan dari keluarga.

Meski tak takut terhadap pengalaman mistis seperti hantu, ada kekhawatiran spesifik yang dirasakan pemulasara. “Takutnya bila ada jenazah yang memiliki penyakit menular, terlebih tempat kerja rumah sakit besar,” urainya.

Seringkali jenazah yang harus dirawat memiliki riwayat penyakit HIV/AIDS, hepatitis, flu burung dan sebagainya. Dumono mengaku kekhawatiran tertular penyakit itu perlahan sirna setelah mendapat pelatihan RSUP dr. Sardjito.

Ada 18 tenaga pemulasara jenazah termasuk rokhaniawan di rumah sakit pusat itu. Dari jumlah tersebut ada tiga orang petugas perempuan dan dirasa masih kurang.

Dumono menguraikan satu jenazah normalnya dimandikan dua orang dalam waktu satu hingga satu setengah jam. Jenazah itu pun harus dirawat petugas berjenis kelamin sama, sehingga pemulasara perempuan masih kurang.

Menjadi petugas pemulasara menurutnya juga harus mengikuti pelatihan agar profesional. Terlebih tidak semua jenazah datang dalam bentuk untuk, sebagian jenazah kerap dalam kondisi mengerikan sehingga perlu penanganan khusus.

Pria yang kerap menjadi pembicara dalam pelatihan pemulasara ini mengaku saat gempa bumi 2006 harus bekerja sampai tiga hari karena banyaknya jumlah korban meninggal. Selain itu, bencana seperti erupsi Gunung Merapi 2010 lalu serta kecelakaan pesawat Garuda beberapa waktu silam juga membuatnya harus bekerja lebih keras.

Soal suka duka, ia mengaku senang menjadi petugas pemulasara karena dapat membantu dan meringankan penderitaan keluarga. Namun sering ia merasa ikut berduka bila ada keluarga korban yang masih belum merelakan kematian keluarganya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya