SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Istimewa)

ilustrasi.dok

BATAM- Ketua Dewan Pers Bagir Manan menegaskan bahwa fungsi wartawan dengan pencari iklan harus dipisahkan, sebab masing-masing berbeda dan berdasarkan etika profesi tidak boleh disatukan.

Promosi Kuliner Legend Sate Klathak Pak Pong Yogyakarta Kian Moncer Berkat KUR BRI

“Fungsi utama wartawan adalah membuat berita, sedangkan pemasukan uang iklan untuk menopang biaya perusahaan merupakan tugas bagian pemasaran,”  kata Bagir menjawab pers di Batam, Kepulauan Riau, pada Sosialisasi Nota Kesepahamanan antara Dewan Pers, Kepolisian Republik Indonesia, serta Kejaksaan Agung tentang Koordinasi Penegakan Hukum, Perlindungan Kemerdekaan Pers, dan Peningkatan Kesadaran Hukum Masyarakat, Kamis (16/5/2013).

Ia mengatakan, umumnya perusahaan pers mengetahui bahwa pencampuradukan fungsi kewartawanan dengan pencari iklan merupakan pelanggaran etika profesi, tetapi mereka masih saja membiarkan dengan alasan penghematan.

Praktik yang tidak memisahkan kewartawanan dengan periklanan, katanya, mengganggu kepercayaan dan kepentingan publik dalam mendapatkan konten berita yang independen.

Padahal, kata Bagir, di sisi lain, bisnis pers sebagai industri pada dasarnya bergantung pada seberapa besar kepercayaan publik.

Selain itu, ia mengingatkan bahwa kredibilitas wartawan yang mencari iklan dapat menurun di mata narasumber.

Ia menganjurkan, daripada mencari penghasilan tambahan dari komisi iklan untuk perusahaan, wartawan lebih baik bekerja ekstra, misalnya sebagai wartawan tulis, juga membuat foto berita atau artikel yang berhonor.

Menjadi wartawan, katanya, sama seperti dosen, harus siap hidup sederhana.

“Kalau ingin menjadi konglomerat, sebaiknya jadi pedagang, bukan jadi dosen atau wartawan,” ujar Bagir Manan yang pada April 2013 terpilih menjadi Ketua Dewan Pers untuk periode kedua.

Anggota Dewan Pers M Ridlo ‘Eisy menuturkan, di Harian Pikiran Rakyat, Bandung, Jawa Barat, tempatnya bekerja, sejak 1982 diberlakukan larangan keras wartawan mencari iklan.

Kebijakan perusahaan, katanya, diambil berdasarkan dua kepentingan yaitu menegakkan etika profesi kewartawanan sekaligus bisnis.

Filosofinya supaya wartawan bekerja sesuai dengan fungsi utama. Sedangkan, secara bisnis, tidak lagi terjadi redaktur pada setiap sore kekurangan bahan berita akibat banyak wartawan mendahulukan iklan untuk mendapatkan komisi 20 persen, katanya.

Mengenai standarisasi gaji wartawan dewasa ini, Ridlo mengemukakan, Dewan Pers tidak merumuskan tersendiri, dan tidak pula mengacu pada usulan dari asosiasi kewartawanan yang besarannya belum tentu sesuai dengan kemampuan semua perusahaan.

Dewan Pers, katanya, bersikap mendorong perusahaan media untuk menerapkan upah minimum provinsi (UMP) sesuai dengan Undang-Undang No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Ia mengingatkan, perusahaan pers supaya menaati UU tersebut sebab bila ada wartawan berstatus pegawai tetap yang dibayar di bawah nilai UMP mengadukan ke pengadilan, pengusaha bersangkutan dapat dikenai hukuman pidana penjara atau denda perdata.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya