SOLOPOS.COM - Desi Priharyana, siswa SMK Negeri 2 Yogyakarta memilih menggunakan sepeda yang dilengkapai dengan kronjot (keranjang) sebagai sarana transportasi ke sekelolah dan berjualan slondok (makanan ringan dari ketela) seperti saat dijumpai di sekolahnya, Rabu (22/01/2013). Siswa kelas 10 jurusan Teknik Konstruksi Batu dan Beton (TKBB) itu tanpa rasa malu memulai berwirausaha sejak kelas 3 sekolah dasar, setiap bulannya ia memperoleh penghasilan bersih dari berjualan slondok sekitar Rp 200-250 Ribu dan digunakan untuk membantu perekonomian keluarganya. (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Perjuangan Desi Priharyana dengan menjual slondok untuk biaya sekolah mendapatkan apresiasi sejumlah pihak. Berikut laporan wartawan Harian Jogja, Rima Sekarani & Abdul Hamied Razak.

Tak ada ubin maupun keramik. Lantai rumah itu masih berupa tanah. Jangan pula cari sofa empuk di ruang tamunya. Kasur untuk tidur saja hanya terbuat dari tumpukan kain perca. Satu-satunya barang “mewah” di sana adalah sebuah televisi pemberian teman.
Di sanalah Kamto, 55, tinggal bersama anak pertamanya, Desi Priharyana. Anak keduanya, sudah beberapa waktu lalu tinggal bersama saudaranya di Kalasan, karena jarak yang lebih dekat untuk ke sekolah.

Promosi Pramudya Kusumawardana Bukti Kejamnya Netizen Indonesia

Ditemui Kamis (23/1/2014) siang, Kamto menyambut dengan senyum ramah. Kamto memulai ceritanya mengenai anak pertamanya yang kini berjualan slondok dengan mengingat jumlah modalnya. “Waktu itu saya kasih Rp50.000, dapat 11 bungkus. Belum sampai rumah, dagangannya sudah habis,” tutur Kamto.

“Anak itu memang enggak punya malu,” kata Kamto. Dia lalu memaparkan satu per satu makanan yang pernah dijual oleh Desi sejak Kelas III SD. “Pernah jualan roti, rambak, tahu juga,” ungkapnya.

Kamto bercerita, guru-guru di SD tempat Desi bersekolah dulu merasa iba pada anak itu sehingga terkadang ikut memberikan uang saku.
Sebenarnya, Kamto merasa anaknya belum pantas untuk bekerja karena masih sekolah. “Aku iki jane mesakke karo bocah. Ning yo bocah karepe ngono, aku piye meneh  [Saya sebenarnya kasihan sama anak. Tapi karena anak inginnya begitu, saya harus bagaimana lagi],” kata Kamto. Matanya perlahan menjadi sayu.

Sebagai pekerja serabutan, Kamto tidak memiliki penghasilan tetap. Beras untuk makan pun dia masih mengandalkan jatah beras miskin (raskin).
Untuk pendidikan, Kamto sangat terbantu dengan kegigihan Desi berjualan. “Aku pengin sekolah, pak,” ucap Kamto menirukan ungkapan anaknya saat lulus SMP.

Saat diterima di SMK Negeri 2 Jogja, Kamto berpesan agar Desi sungguh-sungguh belajar. Dia tidak menginginkan Desi terjerumus dalam hal negatif. Jika Desi bertingkah aneh-aneh, Kamto berjanji dia sendirilah yang akan turun tangan. “Kowe ojo pisan-pisan bolos. Nek nunggak pisan, kowe metu wae. [Kamu jangan sekali-kali bolos. Kalau tidak naik kelas satu kali, kamu keluar saja],” tegas Kamto pada Desi saat itu.

Hingga saat ini, Desi belum mendapatkan beasiswa apapun dari pemerintah. “Ini belum ada. Saya sudah mengajukan tapi belum ada tanggapan. Dia juga sudah sempat tanya ke kepala sekolahnya,” ungkap Kamto. Padahal melihat keadaan ekonomi keluarga Kamto, dia termasuk penduduk miskin. Kendati Desi sekolah di luar Sleman, seharusnya dia bisa mendapatkan beasiswa Jaminan Pelayanan Pendidikan Daerah (JPPD) dari Pemerintah Kabupaten Sleman.

Berkat dagangan slodok lah Desi bisa membantu orangtuanya menanggung biaya sekolah. Meski nampaknya kekurangan, Kamto mengatakan Desi masih suka berbagi. Misalnya membayari makan teman-temannya saat dagangannya laris.
Sikap dermawan Desi diiyakan oleh Suhartono. Dia adalah pemiliki toko dimana Desi bekerja sepulang sekolah. Saat di toko pun, dia sering memberikan slondoknya untuk dimakan bersama karyawan lain.
Sejak Agustus 2013, Desi bertugas menjaga toko milik Suhartono. Pria berusia 51 tahun tersebut ingat saat Desi sering mampir ke emperan tokonya untuk berteduh dari hujan. “Dulu dia itu kan waktu jualan slondok suka ngiyup di toko,” kata Suhartono. Mulanya dia hanya membeli dagangan Desi, lalu coba menawarkan agar Desi mau menitipkan beberapa bungkus slondok di toko Suhartono.
Suhartono kemudian mencari tahu tentang Desi dari warga sekitar. Antara tokonya dan rumah Desi beda dusun. Rumah Desi di Dusun Toino, sedang tokonya di Dusun Kleben. Begitu tahu latar belakang Desi yang sudah tidak punya ibu, nurani Suhartono tergerak. “Saya suruh tidur di toko lalu saya kasih uang saku,” tutur Suhartono.

Di mata Suhartono, Desi adalah anak yang jujur. Itulah mengapa dia percaya Desi bisa tidur di dalam tokonya. “Pernah dia ambil kresek buat jualan slondok, lalu waktu dia pulang sekolah, dia bilang. Terus dia bayar juga,” ucap Suhartono lalu tersenyum lebar.
Banyak orang yang heran dengan Desi saat ini. Pasalnya, saat kelas I dan II SD, Kamto mengaku anaknya sangat nakal, sampai-sampai tidak ada orang yang mau mendekat. Sekarang orang melihat bagaimana anak itu berjuang setiap hari naik sepeda ke sekolah sambil berjualan, lalu masih harus menjaga toko setelahnya.

Wati, salah satu tetangga Kamto menyebut Desi sebagai anak yang kreatif dan bersemangat tinggi. “Dia pernah jualan macam-macam,” katanya.
Saat ditemui di sekolahnya, Rabu (22/1), Desi mengatakan, dia memang tidak pernah malu dengan keadaannya saat ini. Semangatnya pantas ditiru oleh generasi muda saat ini. Kepada ayahnya, dia meyakinkan, “Aku sing penting ora ngrusuhi uwong, Pak [Saya yang penting tidak mengganggu orang].”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya