SOLOPOS.COM - Studi Klub Teater Bandung (STB) asal Bandung saat mementaskan Kisah Jas Panjang Pesanan di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), Jalan Suroto, belum lama ini.

Studi Klub Teater Bandung (STB) asal Bandung saat mementaskan Kisah Jas Panjang Pesanan di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), Jalan Suroto, belum lama ini. (Harian Jogja/JIBI/Kurniyanto)

JOGJA—Revolusi Industri yang terjadi pada kurun waktu 1730-1850 mengakibatkan teknologi terus berkembang cepat. Banyak perusahaan yang beralih menggunakan bantuan mesin ketimbang Sumber Daya Manusia (SDM) dalam memproduksi suatu barang karena dinilai lebih efisien dan cepat.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Alhasil, banyak karyawan akhirnya kena imbas dari revolusi itu karena sebagian besar dari mereka tidak dipekerjakan lagi.

Itulah pesan yang dimunculkan dalam pentas Jas Panjang Pesanan (The Bespoke Overcoat) yang dibawakan kelompok teater Studi Klub Teater Bandung (STB) asal Bandung, Jawa Barat, saat tampil di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), Jalan Suroto, Sabtu (27/4), malam.

Naskah itu ditulis Wolf Mankowitz, novelis asal Inggris. Ia mengemasnya menjadi drama satir yang pahit dan mengaduk emosi banyak orang.

Pentas berdurasi selama 80 menit ini mengisahkan dua orang sahabat yang telah berusia renta bernama Morry (Tjetje Raksa Muhamad) dan Fender (Gatot Wahyu Dwiyono). Mory yang tidak lain adalah seorang penjahit ternama terpaksa melayani Fender untuk membuatkannya sebuah jas.

Fender sendiri bekerja di pabrik konveksi yang membuat jas. Ironisnya selama 43 tahun bekerja di perusahaan tersebut, gajinya tak pernah cukup untuk membeli jas buatan pabriknya. Fender lantas dipecat Ranting (Kemas Ferdiansyah) sang direktur. Fender dipecat karena perusahaan tempatnya bekerja melakukan pengurangan pegawai karena beralih ke tenaga mesin.

Alhasil, jas baru yang dijahit Morry itu pernah didapatkan Fender karena tidak memiliki uang hingga akhirnya ia mati kedinginan dibungkus jas tua yang sobek di sana-sini.

Jas Panjang Pesanan adalah lakon surealis dengan mengadirkan rentetan adegan tidak linier, bolak-balik, menghadirkan kekinian dan masa lalu. Namun, hal itu dikemas oleh kelompok teater STB secara realis dengan membuat dua panggung kecil yang mewakili dua ruang berbeda yakni rumah Morry si penjahit dan kantor pabrik konfeksi tempat Fender bekerja.

Kendati mengusung panggung minimalis situasi panggung terasa hidup. Ini tidak lain karena tata cahaya panggung yang digunakan STB terasa menyatu dengan panggung. Lampu yang samar samar memberikan nuansa misteri kekinian dan kelampauan terlihat kentara dan menjadi bagian dari ketegangan dalam cerita itu.

Ign Arya Sanjaya, sutradara pertunjukkan menjelaskan kendati naskah Jas Panjang Pesanan (The Bespoke Overcoat) mengangkat revolusi industri yang terjadi di Inggris pada abad 19 namun fenomena itu masih saja dirasakan di zaman sekarang ini.

“Saat ini banyak masyarakat yang semakin autis. Terutama saat mereka menggunakan gadget  mereka bahkan cenderung menjadi anti sosial gara gara alat canggih itu,” katanya kepada Harian Jogja, Sabtu (27/4) usai pentas.

Menurut dia tidak ada yang salah dengan perkembangan teknologi itu. Namun demikian manusia haruslah manusiawi karena jika tidak bijak mensikapi kemajuan teknologi itu akan membuat manusia menjadi tidak beradab. Apalagi, perkembangan zaman ini membuat manusia cenderung konsumtif dan cenderung mengutamakan uang.

“Pentas ini hendaknya menjadi renungan bagi kita semua,” bebernya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya