SOLOPOS.COM - Daminah, 48, menggendong Nur Roqhim, anaknya yang hampir 11 tahun menderita hidrosefalus di rumahnya RT 026/RW 004, Dukuh Peranti, Desa Klumutan, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun, Selasa (17/10/2017). (Abdul Jalil/JIBI/Madiunpos.com)

Kisah tragis, seorang anak di Madiun menderita penyakit hidrosefalus.

Madiunpos.com, MADIUN — Nur Roqhim, 12, hanya bisa tergeletak lemas di tikar dengan tubuh yang sangat kurus serta kepala yang terus membesar. Putra dari pasangan Daminah, 48, dan Siswanto, 53, divonis dokter mengidap penyakit hidrosefalus sejak berusia satu setengah tahun.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Ditemui di rumahnya di RT 026/RW 004, Dukuh Peranti, Desa Klumutan, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun, Selasa (17/10/2017), Daminah sedang menggendong Nur Roqhim. Di rumahnya yang sederhana, pasangan tersebut membesarkan anak terakhirnya itu dengan penuh kasih sayang.

Terlihat tidak ada perabotan mewah di rumahnya. Di ruang tamu hanya ada meja kecil dan kursi yang telah rusak. Di bagian tengah, ada tikar yang biasanya digunakan untuk menidurkan Roqhim pada siang hari.

Rumah sederhana tersebut berdinding tripleks dengan lantai sepenuhnya masih tanah. Di teras rumah, beberapa barang rongsokan digantung menggunakan tali dan diikat di bambu penyangga genteng. Beberapa sepeda bekas pun berjejer di depan rumah.

Kepada wartawan, Daminah menceritakan putra terakhir dari tiga bersaudara ini mengidap hidrosefalus saat usianya menginjak satu setengah tahun. Padahal saat lahir anaknya itu dalam kondisi normal.

Mulanya Roqhim mengalami panas dan kemudian kejang-kejang. Lantaran kondisinya parah, dia pun membawa Roqhim ke RSUD dr. Soedono Kota Madiun untuk diperiksa. Saat itu Roqhim dirawat selama 40 hari.

“Setelah dirawat selama 40 hari, kondisinya tidak kunjung membaik dan tidak ada perkembangan,” ujar dia.

Selanjutnya, dia pun membawa pulang dan merawat Roqhim di rumah. Sekitar tiga bulan berselang, kondisi Roqhim tidak kunjung membaik. Untuk kebutuhan makan Roqhim, dia memberi susu formula melalui selang yang dimasukkan ke dalam hidung.

Tak Bisa Berbicara

Daminah kemudian membawa anaknya ke RSUD dr. Soetomo Surabaya. Namun, di rumah sakit pelat merah itu Roqhim tidak dapat menjalani operasi karena otaknya amat kecil.

Sejak saat itu, kepala anaknya mulai membesar dan tubuh serta kakinya justru semakin mengecil hingga hanya terlihat kulit dan tulang.

“Roqhim juga tidak bisa berbicara maupun melihat. Dia hanya menangis saat ingin sesuatu,” kata Daminah.

Kondisi anaknya yang tidak mungkin ditinggal membuat Daminah tidak bisa beraktivitas kerja maupun melakukan pekerjaan di luar rumah. Untuk kebutuhan hidup, sepenuhnya mengandalkan penghasilan suaminya yang bekerja sebagai pencari barang rongsokan.

Penghasilan suaminya per hari rata-rata Rp30.000 sampai Rp50.000. Besar kecilnya pendapatan suaminya tergantung barang rongsokan yang didapat hari itu.

Kedua kakak Roqhim yaitu Didik Darwanto, 26, dan Lilis Nuryanti, 23, telah menikah dan tidak lagi tinggal serumah dengannya.

Dengan penghasilan suaminya yang pas-pasan, kata Daminah, ia kerap berhutang ke saudaranya untuk mencukupi kebutuhan Roqhim. Sebulan sekali, dia harus membeli kebutuhan anak terakhirnya itu seperti susu, tisu, popok, dan lainnya.

Sekali dalam sebulan, Roqhim juga harus dibawa ke RSUD Caruban Madiun untuk diperiksakan. Untuk biaya pengobatan telah ditanggung pemerintah menggunakan Kartu Indonesia Sehat (KIS).

Meski bertahun-tahun merawat anak yang sakit-sakitan, dia mengaku tidak pernah mengeluh. Dia mengaku sabar dan menerima cobaan itu dengan lapang dada.

Daminah hanya berharap suatu saat anaknya itu bisa sembuh dan bisa menjadi anak-anak seperti pada umumnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya