SOLOPOS.COM - Sejumlah warga menambang pasir di dasar Sungai Bengawan Solo tepatnya di Desa Kedungupit, Sragen, Rabu (22/9/2021). (Solopos/Moh Khodiq Duhri)

Solopos.com, SRAGEN — Para penambang pasir Sungai Bengawan Solo di Dukuh Prayungan, Desa Kedungupit, Sragen, sejenak menghentikan aktivitas mereka, Rabu (22/9/2021). Mereka keluar dari air sungai yang berwarna cokelat kehitaman.

Salah satu penambang tersebut, Sunardi, 58, lalu menemui Solopos.com dan berbincang. Nada bicaranya langsung naik begitu obrolan menyinggung masalah pencemaran di Sungai Bengawan Solo.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Hari ini agak mendingan karena debit air lumayan tinggi. Biasanya airnya hitam pekat. Lebih buruk dari oli bekas. Baunya bikin dada sesak. Kalau masuk mulut, rasanya pahit. Kalau diselami, langsung bikin rambut terasa kaku,” ujar Sunardi.

Sudah lebih dari 35 tahun Sunardi bekerja sebagai penambang pasir di Sungai Bengawan Solo wilayah Sragen. Datangnya musim kemarau biasanya menjadi berkah baginya. Saat debit air turun, ia bisa lebih leluasa mengeruk pasir di dasar sungai.

Baca Juga: DLH Sragen Teliti Kualitas Air 4 Anak Sungai Bengawan Solo

Untuk mengumpulkan satu rit pasir, Sunardi membutuhkan waktu rata-rata 10 hari. Sampai di rumah pelanggan, pasir dari Sungai Bengawan Solo itu dijual Rp1 juta/rit.

Sunardi pun masih harus berbagi hasil penjualan pasir itu dengan dua warga lain yang bertugas mengangkut pasir dari bibir sungai menuju daratan. Ia menceritakan dulu air sungai masih bersih.

Bau Airnya Seperti Bangkai

“Dalam beberapa tahun terakhir, airnya berubah jadi kotor. Saya hanya orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Mau protes juga tidak tahu kepada siapa? Biar sungai bersih, sebaiknya pembuangan limbah itu bisa dihentikan,” ujarnya.

Hal senada dikatakan Sunarto, 55, warga Desa Tanggan, Gesi, Sragen. Sunarto sudah bekerja sebagai penambang pasir di Sungai Bengawan Solo sejak masih berusia belasan tahun.

Baca Juga: Vaksinasi Covid-19 di MTs N 3 Sragen, 20 Siswa Tak Boleh Ikut

Bahkan, ia sudah menambang pasir sebelum Jembatan Sapen di perbatasan Tanggan dan Kedungupit dibangun. Beberapa waktu lalu, Sunarto pernah jatuh sakit setelah menyelami air sungai yang baunya seperti bangkai.

“Pulangnya, saya langsung masuk angin. Bau busuk itu tidak hilang-hilang dari badan. Bahkan, sudah mandi berkali-kali pakai sabun tetap tak mampu menghilangkan bau,” keluh Sunarto.

Walau hampir tiap hari menyelami Sungai Bengawan Solo yang kotor, kulit Sunardi dan Sunarto ternyata cukup kebal. Keduanya sama sekai tidak merasakan gatal-gatal di kulit.

Kulit Sampai Kebal

Hanya kadang kala keduanya merasa gatal pada bagian dalam telinga setelah menyelami sungai kotor untuk mengeruk pasir dengan cikrak yang terbuat dari anyaman bambu.

Baca Juga: Saking Parahnya Pencemaran, Warga Sragen Sampai Takut Makan Ikan dari Bengawan Solo

“Kalau terlalu lama menyelam, yang tidak kuat itu kupingnya. Karena kerap kemasukan air kotor, jadinya terasa gatal. Kalau kulit di badan malah tidak terasa gatal, mungkin karena sudah kebal,” seloroh penambang pasir di Sungai Bengawan Solo itu.

Lestari, 40, warga Dukuh Nglombo, Desa Tenggak, Sidoharjo, tinggal di rumah yang berjarak sekitar 5 meter dari bibir Sungai Bengawan Solo. Dalam beberapa pekan terakhir, kadang kala ia mencium bau menyengat seperti minuman keras jenis ciu dari Sungai Bengawan Solo.

Bau itu biasa tercium pada malam dan pagi hari. Ia bercerita saat ini hampir tidak ada orang yang memancing ikan di Sungai Bengawan Solo.

“Memang sudah tidak ada ikannya. Kalau dulu masih ada ikan sapu-sapu. Kalau dijual, ikan sapu-sapu itu laku Rp20.000/kg. Rasanya enak, tekturnya dan warnanya malah mirip dengan daging sapi. Tapi sekarang juga sudah jarang ditemui ikan sapu-sapu itu,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya