SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Kain seprei hijau bergaris kuning yang membungkus kedua kaki Ngatini, 35, bergetar mengigil. Ia kedinginan. Udara di Dusun Manggisan  RT 13/ RW IV, Desa Tegalwaton, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang Kamis
(16/9) siang itu memang agak dingin sehabis diguyur hujan selama setengah jam.

Sementara kedua tangan wanita itu mendekap baju biru yang menutupi bagian dadanya. Wajahnya sayu, ditemani suaminya, Juremi, 40, yang juga menampakkan raut wajah gundah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dengan terduduk di kasur biru dengan motif bunga-bunga yang sudah mulai kempis bagian tengahnya Ngatini sesekali meraba kulit di beberapa bagian tubuhnya yang mulai mengelupas. Memang ada yang aneh dengan kulit karyawati PT Apac Inti Corpora, Bawen, Kabupaten Semarang ini.

Kulit mulai di kaki hingga kepalanya menebal, bersisik dan jika sudah kering mengelupas. Sementara badannya merasakan panas yang luar biasa dan sering pula mengigil kedinginan tanpa penyebab yang jelas. Tumbuhnya sisik di kulit Ngatini berawal dari sebuah luka gatal sebesar biji karambol di kaki kirinya, tepatnya di atas mata kaki.

Ekspedisi Mudik 2024

Jumlah titik gatal-gatal itu bertambah menjadi tujuh dalam hitungan hari dan satu setengah bulan berikutnya sisik sudah menjajah seluruh tubuh ibu dua anak itu, bahkan hingga wajah. Rambutnya pun sedikit demi sedikit mulai rontok.

Kulit yang menebal dengan sisik yang kaku membuatnya sulit bergerak.
Jika digerakkan maka kulit yang telah keras itu akan sobek sisiknya terkelupas lantas mengeluarkan darah. Jika terkena air, sisik itu juga akan mengelupas namun diselingi rasa kesakitan ibu kandung Septian Taufik Maulana, 10, dan Tabah Nurhidayah, yang masih berusia 2,5 tahun ini.

“Bahkan untuk ke belakang (kamar kecil) saja jalannya harus membungkuk dan pake acara nangis segala karena sakit,” tutur Ngatini yang berusaha tabah dengan senyum yang dipaksakan.

Akibat penyakitnya, ia pernah dianggap orang gila oleh Satpam dan dokter di tempatnya bekerja. Meski telah bekerja selama 18 tahun di perusahaan pemintalan benang dan kain besar ini, tapi penyakit kulit tersebut membuat wajahnya tidak lagi dikenali. Ia bahkan sempat diusir saat hendak masuk kerja.

Baik Ngatini maupun Jumeri tak paham dengan penyakit yang bersarang di tubuhnya itu. Penyakit itu tiba-tiba datang begitu saja empat bulan silam. Menurut keterangan dokter spesialis kulit yang pernah mereka datangi, penyakit Ngatini disebabkan lantaran alergi obat. Namun dokter itu tak mampu menyembuhkannya.

“Ke pengobatan alternatif sudah tak terhitung jumlahnya namun belum juga sembuh. Sudah jutaan rupiah kami keluarkan untuk pengobatan,”
urai Juremi yang bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan tak tetap. Paling baik ia hanya mampu mengantongi Rp 10.000/hari.

Ngatini mengaku berkeinginan untuk berobat ke RS Elisabeth di Semarang. Namun uangnya telah habis untuk mencoba berbagai pengobatan yang tidak memberikan hasil apa-apa.

Terpaksa Ngatini harus menunggu sampai suaminya mampu mengumpulkan cukup uang untuk berobat, meski entah sampai kapan ia harus menunggu. Dari perusahaannya, Ngatini mengaku memiliki kartu Jamsostek, tapi ia tak tahu cara menggunakannya. Pihak perusahaan tak memberikan informasi cara memanfaatkan kartu itu.

kha

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya