SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com--Puluhan orang yang berkumpul dan membentuk beberapa kelompok di Balai Tawangarum Kompleks Balaikota Solo, Jumat (25/11/2011) itu tampak asyik berbicara satu sama lain.

Tapi nyaris tak ada suara yang keluar, paling tidak yang bisa dipahami maknanya. Hanya mimik wajah, gerakan bibir dan isyarat tangan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Bagi para penyandang tuna rungu dan atau tuna wicara serta mereka yang memahami bahasa isyarat tentu bisa dengan mudah tahu apa yang sedang mereka bicarakan.

Tapi bagi mereka yang tidak paham, akan merasa seperti orang asing dari dunia yang berbeda, dan itulah masalahnya bagi para penyandang tuna rungu/wicara.

Ekspedisi Mudik 2024

Tidak semua orang memahami bahasa isyarat sehingga bisa mengerti pesan yang hendak disampaikan para penyandang tuna rungu/wicara. Banyak pula yang memandang remeh bahasa isyarat, bahwa bahasa isyarat hanya untuk penyandang tuna rungu/wicara, sehingga tidak merasa perlu untuk memperlajarinya.

Akibatnya, para penyandang tuna rungu/wicara kerap menjadi kaum yang termarginalkan. Dalam kesunyian, mereka seolah hidup dalam dunia mereka sendiri yang terpisah dari dunia orang normal.

“Sering sekali ada rekan kami para penyandang tuna rungu/wicara yang antre berobat di Puskesmas tidak mendapat layanan selayaknya. Mereka sudah antre lama tapi karena tidak mendengar saat dipanggil, mereka dilewati oleh antrean berikutnya. Juga ketika dokter memberitahukan kondisi penyakitnya, pesannya tidak bisa diterima dengan baik karena si dokter tidak bisa menyampaikan dalam bahasa isyarat,” tutur Muhammad Ismail, penasihat Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) Solo.

Karena itulah, Ismail mengatakan siang itu di Balai Tawangarum, Gerkatin mengadakan pelatihan bahasa isyarat bagi pelaku pelayanan publik dan masyarakat. Sebab, dalam dunia mereka yang sunyi, mereka ingin sekali dipahami, dimengerti dan diperlakukan sama dengan orang lain dalam hal akses pelayanan publik dan berinteraksi dalam masyarakat.

Pelatihan itu diikuti puluhan peserta mulai dari kalangan mahasiswa, guru, pegawai negeri sipil (PNS), bidan, dokter, perawat, pegawai kelurahan, dan lain-lain. Mereka dibagi dalam beberapa kelompok dan tiap kelompok dipandu oleh seorang penyandang tuna rungu dan seorang relawan.

Salah satu di antara pemandu tuna rungu itu, seorang remaja puteri usia 19 tahun bernama Oktaviani Wulansari, terlihat sangat bersemangat mengajarkan bahasa isyarat kepada para peserta di kelompoknya.

Dia sangat senang bahkan bertepuk tangan tiap ada peserta yang berhasil membuat isyarat semua abjad latin dengan tangannya. Terlihat sekali betapa besar hasratnya agar orang lain memahami bahasa isyarat tersebut.

Salah satu peserta dari kalangan guru, Rianto mengatakan sebenarnya tidak sulit untuk memahami bahasa isyarat.

“Saya mengikuti pelatihan ini karena memang ingin sekali bisa bahasa isyarat. Tetangga saya kebetulan ada yang tuna rungu dan saya sering kesulitan berkomunikasi dengannya,” jelasnya.

(Suharsih)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya