SOLOPOS.COM - Lukmono Suryo Nagoro/Dokumen Solopos

Solopos.com, SOLO -- Mengapa mahasiswa berdemonstrasi lagi? Gerakan mahasiswa itu seperti koboi yang datang dari jauh, kemudian menembaki semua bandit di sebuah kota. Pada akhirnya koboi itu memacu kencang kuda untuk membasmi kejahatan di kota lainnya lagi.

Gerakan mahasiswa itu bisa juga menjadi oposisi jalanan. Praktis selama Presiden Joko Widodo berkuasa seluruh kekuatan oposisi dijinakkan. Jika kita menganut sistem demokrasi tanpa oposisi, siapa yang akan mengerem penyalahgunaan wewenang para politikus?

Promosi Bukan Mission Impossible, Garuda!

Ya, akhirnya mahasiswa yang akan turun ke jalan. Sayangnya oposisi yang terlembaga di Indonesia tidak tumbuh dengan baik. Jika pemerintahan menganut sistem parlementer, sistem oposisi sangat dimungkinkan. Kekuatan oposisi biasanya mempunyai kabinet bayangan dengan struktur sama seperti kabinet pemerintahan. Para menteri di kabinet bayangan itu menyampaikan pandangan kaum oposisi dan kadang kala harus mengambil kebijakan yang berbeda dengan pemerintahan.

Beginilah cara kerja demokrasi yang selalu ribut dan menimbulkan kekacauan. Tidak ada demokrasi yang tidak ribut. Kita tahu pada rezim nondemokratis, tanpa ada keributan yang kentara, tiba-tiba rezim melarang warga negara melakukan sesuatu, menulis kritik di media massa dianggap melawan negara, atau demonstrasi termasuk tindakan pidana.

Mengapa opsisi yang resmi melalui lembaga parlemen seakan-akan tidak pernah berfungsi dengan baik (di Indonesia)? Jika ada oposisi, mereka hanya waton sulaya dan tidak pernah merumuskan kebijakan yang sama sekali berbeda dengan kebijakan pemerintah dan ditawarkan untuk dilaksanakan pemerintah agar sebuah masalah cepat teratasi.

Oposisi yang Terlembaga

Oposisi yang terlembaga belum pernah tumbuh dengan baik atau selalu kerdil karena setidaknya tiga hal. Pertama, sejak Orde Baru istilah oposisi sangat dilarang. Mereka menjalankan sistem demokrasi Pancasila melalui metode musyawarah mufakat yang dimanipulasi. Tugas DPR sering disebut hanya sebagai tukang stempel semua kebijakan dan undang-undang usulan pemerintah.

Kedua, sudah menjadi rahasia umum bahwa semua partai politik di Indonesia pascareformasi ini semuanya ingin berkuasa, semua ingin memerintah. Situasi psikologis partai politik inilah yang dimanfaatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo menggandeng mereka semua untuk masuk kekuasaan atau membagi-bagi posisi di kabinet, lembaga negara nonkementerian, dan BUMN.

Situasi ini bernuansa timbal balik. Bagi presiden, kekuasaannya terjamin sampai akhir periode. Bagi partai-partai politik, mereka akan mendapatkan segala macam akses terhadap APBN. Partai-partai politik akan berlomba-lomba memperebutkan wilayah kekuasaan, dalam hal ini bukan arti teritorial, tetapi juga bidang lain, seperti pertanian, agama, pertambangan, perkebunan.

Contoh gamblang adalah ketika zaman kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono. Wilayah kekuasaan pertanian menjadi ”hak milik” Partai Keadilan Sejahtera. Wilayah agama sudah sejak lama menjadi kekuasaan Partai Persatuan Pembangunan.

Ketiga, saya ingin mengaitkan fenomena berbondong-bondongnya semua partai politik masuk ke pemerintahan dengan teori integralistik Soepomo yang dinyatakan pada 31 Mei 1945. Soepomo dalam pidato menyatakan ada tiga macam bentuk kenegaraan, yaitu yang individualis, yang marxis, dan yang integralistik. Konsep negara integralistik mengandung prinsip persatuan antara pemimpin dan rakyat dan prinsip persatuan dalam negara, dan hal ini seluruhnya sesuai dengan aliran pikiran ketimuran (termasuk Indonesia).

Soepomo berpendapat negara tidak memihak golongan yang kuat, bahkan juga tidak menganggap kepentingan seorang sebagai pusat. Negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Bisa dipahami, dalam pandangan integralistik ini Soepomo ingin mempersatukan semuanya dalam negara, termasuk partai-partai politik. Jika demikian, pelaksanaan demokrasi dalam naungan integralistik adalah demokrasi minus oposisi.

Melenyapkan Kritik

Contohnya pada masa Presiden Joko Widodo periode pertama yang berada di gerbong pemerintahan adalah hampir seluruh partai politik peserta pemilihan umum minus Partai Gerakan Indonesia Raya dan Partai Keadilan Sejahtera. Pada periode jabatan kedua Presiden Joko Widodo, rencananya semua partai politik dirangkul minus Partai Keadilan Sejahtera. Hal ini membuktikan nafsu partai politik untuk bersatu menguasai negara dan sumber-sumbernya.

Karena itulah, jika revisi UU KPK bisa lolos dengan mudah. Salah satu penyebabnya adalah tidak ada oposisi yang kredibel dan berwibawa. Persatuan elite politik di Indonesia berlangsung dengan kompak menghabisi KPK melalui revisi UU KPK dan itu tidak ada yang menentang.

Para politikus seperti Fahri Hamzah yang sudah lama geregetan dengan kerja-kerja KPK bersatu dengan elite pemerintahan yang berpendapat KPK itu mempersulit investasi. Persatuan pandangan ini membuat revisi UU KPK melenggang kangkung.

Jika demokrasi di Indonesia minus oposisi, apakah masih pantas menyebut Indonesia sebagai negara demokrasi yang terbesar ketiga di dunia? Sistem oposisi yang sehat adalah menciptakan kontrol dan keseimbangan antara rakyat dan penguasa. Itu jika kita ingin disebut negara demokratis. Sistem oposisi jalanan model mahasiswa akhir-akhir ini bukanlah sistem yang sehat.

Oposisi jalanan terjadi karena terjadi para elite politik bersama-sama menggarong akal sehat dengan melemahkan KPK. Demokrasi itu memang berisik sehingga bagi yang sering terbawa perasaan atau baper demokrasi jelaskan bukanlah sistem yang menyenangkan. Tanpa oposisi lenyaplah kritik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya