SOLOPOS.COM - Lukmono Suryo Nagoro/Istimewa

Solopos.com, SOLO — Setelah melantik para menteri Kabinet Indonesia Maju, Presiden Joko Widodo menyatakan keinginan membangun demokrasi gotong royong. Ia menyampaikan di Indonesia tidak ada oposisi seperti di negara lainnya. Demokrasi kita adalah demokrasi gotong royong.

Istilah demokrasi di Indonesia memang suka ditambah-tambahi. Presiden Soekarno menambahkan kata ”terpimpin”, jadilah demokrasi terpimpin. Presiden Soeharto menambahkan kata ”Pancasila”, jadilah demokrasi Pancasila. Di negara lain demokrasi ditambahi kata ”rakyat” yang sebenarnya secara harfiah berlebih-lebihan karena di dalam demokrasi itu sendiri sudah mengandung arti rakyat.

Promosi Nusantara Open 2023: Diinisiasi Prabowo, STY Hadir dan Hadiah yang Fantastis

Kita tahu demokrasi yang ditambah-tambahi itu bukanlah demokrasi yang sebenarnya atau bisa dikatakan bukan demokrasi, tidak demokratis. Soekarno maupun Soeharto sama-sama tidak menjadi pemimpin yang demokratis. Mereka menjadi otoriter. Apakah demokrasi gotong royong ala Presiden Joko Widodo juga akhirnya menceburkan dirinya pada otoritarianisme?

Menilik sejarah, Soekarno ketika memandang demokrasi menyatakan di negeri-negeri tempat demokrasi dijalankan, kapitalisme merajalela dan kaum marhaen papa sengsara. Menurut Soekarno, demokrasi politik saja tidak cukup, perlu ada sosiodemokrasi, yang menuruty dia, adalah sebuah demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri, dan keberesan rezeki.

Dengan demikian, demokrasi di Indonesia tidak hanya berdimensi kebebasan politik saja, tetapi di dalamnya juga harus ada kesejahteraan. Esai saya berjudul Kado Pahit bagi Demokrasi (Solopos, 22 Agustus 2019) menyatakan demokrasi secara alami di dalamnya ada kebebasan karena kesejahteraan dan keamanan bisa diberikan oleh rezim nondemokratis.

Jika mendasarkan pada pernyataan Soekarno, Presiden Joko Widodo pasti ”tidak salah” mengutamakan kesejahteraan daripada kebebasan. Hal ini juga dilandasi fakta kegagapan demokrasi jika harus berhadapan dengan situasi rakyat tidak bisa membeli makanan karena inflasi melonjak tinggi.

Kesejahteraan Material

Pada situasi yang demikian, sukar meminta rakyat dan pemimpin untuk berkorban demi demokrasi dan kebebasan. Fakta lainnya bahwa yang dikejar dalam demokrasi di Indonesia juga berupa kesejahteraan material ada dalam pidato pelantikan Presiden Joko Widodo yang memang sama sekali tidak menyebut demokrasi, hak asasi manusia, dan korupsi.

Presiden Joko Widodo menyebut kata pembangunan dan ekonomi masing-masing empat kali. Artinya, pada periode jabatan kedua kali ini, Presiden Joko Widodo sejak kick off langsung mempercepat pembangunan ekonomi melalui proses yang produktif (disebut dua kali) dengan menghilangkan proses yang menghambat (disebut dua kali) untuk mencapai target (disebut tiga kali), yaitu transformasi ekonomi (disebut dua kali).

Saya curiga salah satu proses yang menghambat ini adalah demokrasi itu sendiri. Perlu diketahui, dalam demokrasi rantai memutuskan kebijakan menjadi panjang dan cenderung bertele-tele. Hal ini bertolak belakang dengan kehendak Presiden Joko Widodo yang ingin segalanya cepat.

Karena itulah, Presiden Joko Widodo mengajak hampir seluruh partai politik untuk bergotong royong memperkuat pemerintahan dengan maksud mempercepat segala keputusan, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat.

Tampaknya Presiden Joko Widodo lupa bahwa seharusnya yang dia ajak bergotong royong itu adalah rakyat Indonesia, bukan elite partai politik yang sering dikritik oleh para pengamat sebagai oligarki. Presiden Joko Widodo ingin menegakkan demokrasi gotong royong melalui kerja sama dengan para pendukung oligarki.

Nilai kerakyatan yang dianut oleh demokrasi kita, yang juga mensyaratkan adanya hak, prosedur, dan partisipasi rakyat, akan terdistorsi. Situasi yang demikian akan digantikan dengan permusyaratan/perwakilan para oligarki.

Dengan menggandeng para oligarki, bisa jadi Presiden Joko Widodo berasumsi 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6% kekayaan nasional sehingga ketika menggandeng 10% orang terkaya di Indonesia berarti sudah menguasai 75,3% kekayaan nasional (data Global Wealth Report 2018).

Logika yang Keliru

Jika Presiden Joko Widodo menggunakan logika ini untuk mempercepat segala keputusan sehingga hanya perlu berkonsultasi dengan perwakilan orang-orang kaya, tidak perlu dengan orang-orang miskin, bisa dimaklumi karena demokrasi juga sama sekali tidak disinggung dalam pidato pelantikan dirinya.

Saya meyakini bahwa logika demikian pasti keliru besar. Jika demikian, apa yang bisa kita harapkan dari model demokrasi gotong royong ini? Saya melihat harapan itu ada di partai politik yang jika tidak mempertahankan demokrasi sebenarnya bisa-bisa tinggal nama karena harus berfusi dengan partai politik lainnya.

Jarang-jarang saya berharap kepada partai politik. Dalam kerangka demokrasi gotong royong ini ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh partai politik untuk mempertahankan demokrasi yang sebenarnya dalam situasi di Indonesia adalah perang melawan radikalisme dan ekstremisme.

Pertama, partai politik harus bergotong royong mencegah tokoh ektremis atau radikal ekstrem menjadi pimpinan atau mendaftar untuk mengikuti pemilihan bupati/wali kota, gubernur, dan presiden biar pun mereka dapat menambah perolehan suara partai politik.

Kedua, partai politik harus bergotong royong membasmi kaum ekstremis di tingkat akar rumput masing-masing.  Ekstremis ini bisa organisasi kemasyarakatan berbasis agama yang berpotensi menjadi radikal ekstrem, kemudian mereka berlindung di ketiak partai politik agar mendapatkan keabsahan dari pemrintah.

Bisa juga ekstremis itu berupa organisasi kemasyarakatan seperti preman-preman yang sering bekerja sama dengan partai politik untuk mendapatkan lisensi tertentu, terutama berkaitan dengan kepentingan ekonomi yang sedikit banyak dana tersebut akan mengalir ke kas partai politik juga.

Mengisolasi Ekstremis

Ketiga, partai politik harus bergotong royong mengisolasi para ekstremis itu, bukan memberikan legitimasi. Partai politik sebaiknya menghindari aksi-aksi massa atau pidato yang menyanjung bahkan mendukung tokoh ekstremis tersebut. Isolasi yang demikian bisa menjaga demokrasi karena partai politik yang lebih dekat dengan ekstremis akan berkecenderungan merusak demokrasi jika dibandingkan partai politik yang bergotong royong meskipun arus utama politik pendukung saling berseberangan.

Keempat, partai politik harus mau bergotong royong dan bersatu ketika ada tokoh ekstremis yang menjadi kandidat dalam pemilihan umum. Partai politik harus bersedia bergabung dengan partai politik lain meskipun berbeda ideologi untuk menyampaikan kepada pemilih mengenai apa yang dipertaruhkan.



Selain kondisi yang disebutkan di atas, partai politik yang berkuasa harus mengadang kandidat serius yang juga populis, terutama yang terus-menerus menyuarakan ada satu hal yang lebih ditaati dan ditakui daripada konstitusi negara, yaitu suara rakyat. Kandidat yang demikian selain populis, juga akan menganjurkan kekerasan dan menyangkal legitimasi lawan politiknya.

Mumpung negara juga sedang membersihkan aparatur sipil negara, pegawai badan usaha milik negara, dan pejabat negara dari radikalisme dan ekstremisme, partai politik sebaiknya juga melakukan itu. Jika partai politik tidak mau melakukan, akibatnya posisi politik yang diduduki kader partau politik tetap rawan tercemari radikalisme dan ekstremisme.

Mungkin ini yang dimaksud demokrasi gotong royong ala Presiden Joko Widodo yang muaranya adalah bersatu padu untuk membersihkan narasi radikalisme dan ekstremisme di Indonesia, meskipun bau otoritarianisme sedikit tercium.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya