SOLOPOS.COM - Arif Budisusilo (Istimewa)

Ada gegap gempita baru di kalangan elite nasional. Presiden Joko Widodo “biang kerok”-nya. Pasalnya, Pak Jokowi, begitu publik biasa memanggilnya, blak-blakan menegaskan ingin cawe-cawe dalam proses Pilpres 2024.

Tentu, cawe-cawe dimaksud dilakukan demi kepentingan nasional. Demi keberlanjutan arah pembangunan Indonesia ke depan. Agar negara yang kaya potensi untuk maju ini tidak kehilangan momentum. Para elite pun lantas heboh. Pro dan kontra. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla langsung menanggapi. Bakal calon presiden Anies Baswedan juga berkomentar. Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, yang biasa disapa dengan panggilan Mas AHY, juga berbicara. Spontan. Begitu pula para politikus, pengamat politik, dan akademisi.

Promosi Kisah Pangeran Samudra di Balik Tipu-Tipu Ritual Seks Gunung Kemukus

Para elite, terutama elite politik, kaget. Para pegiat politik nasional pun menanggapi dengan aneka reaksi. Ada yang menyebutkan Pak Jokowi membuat kemunduran demokrasi. Ada pula yang melihat dari aspek kenegarawanan. Dengan membandingkan presiden sebelumnya seperti Presiden Megawati dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dianggap tidak ikut-ikutan dalam “kontestasi” Pilpres setelah masa jabatan selesai. Itulah yang dianggap sebagai negarawan. Dan dengan begitu menjadi perawat demokrasi.

*

Terus terang, saya tidak ingin turut larut dalam euforia kagetan tadi. Malah sebaliknya, saya ingin melihat dalam perspektif yang lain. Mengapa pula harus kaget dengan cawe-cawe-nya Presiden dalam praktik politik di Indonesia? Cawe-cawe adalah istilah populer bahasa Jawa yang maknanya adalah “terlibat aktif dengan tujuan tertentu.” Kata itu tiba-tiba populer dan seakan berubah menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia.

Apakah karena “ingin cawe-cawe” itu dinyatakan secara terbuka, lantas bikin banyak elite politik kaget? Bagaimana dengan cawe-cawe yang dilakukan secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi?

Sudah bukan rahasia lagi, setiap ada pesta politik (sengaja saya menghindari terminologi “pesta demokrasi”) seperti pilkada dan pilpres, banyak manuver terbuka maupun  diam-diam dilakukan oleh para kontestan dan bohirnya kontestan. Baik itu pejabat maupun bukan pejabat. Bukan rahasia pula, dalam konteks itu, partai yang punya ikatan dengan jalur birokrasi dan kekuasaan berpeluang memenangkan kontestasi. Mereka  bisa menggunakan jalur birokrasi sampai level paling bawah untuk mempengaruhi perilaku pemilih. Ini bukan soal pemilu jujur atau tidak jujur. Tapi soal manajemen massa dan akses mempengaruhi pemilih. Dan soal suksesi.

Di masa lalu praktik itu sangat lazim. Kentara atau tidak kentara. Terasa atau tidak terasa.  Sebuah parpol menengah pernah memenangi banyak sekali kontestasi pilkada di daerah karena kebetulan terafiliasi dengan jalur birokrasi penegakan hukum hingga ke seluruh daerah di Indonesia. Sekadar contoh saja. Tentu saya tidak perlu membuka nama parpol itu. Ketimbang menjadi soal nanti. Intinya, praktik-praktik itu –yang bahkan masuk kategori abuse of bureaucracy— sudah biasa. Di sekitar kita.

Lalu kenapa tiba-tiba ada yang kaget? Apakah kaget karena transparansi? Karena keterbukaan? Yang kemudian menimbulkan ketakutan dalam kontestasi?

Dalam manajemen bisnis, bahkan pemimpin yang tidak mampu menyiapkan pengganti dengan baik untuk kepentingan keberlanjutan usaha perseroan dianggap gagal. Ada adagium bahwa sukses seorang company leader dilihat dari keberhasilannya menemukan pengganti yang dapat melanjutkan kelangsungan usaha perseroan.

Analogi itu yang barangkali, menjadi basis pijakan cara berfikir Pak Jokowi.

*

Banyak orang akhir-akhir ini juga latah dengan menyebut istilah demokrasi. Kata demokrasi akhirnya seperti mengalami inflasi. Gila-gilaan bahkan. Hiperinflasi kata demokrasi. Semua elite selalu mengusung terminologi demokrasi, bahkan menjadi jargon. Dikemukakan dalam berbagai kesempatan, aneka konteks, dan beragam isu. Kendati  kerap meninggalkan esensi.

Dulu zaman Presiden Sukarno, dikenal istilah Demokrasi Terpimpin. Di era Pak Harto diperkenalkan secara luas Demokrasi Pancasila. Hari ini, demokrasi yang sering diucapkan tidak punya identitas yang jelas. Tapi baju yang dipakai jelas, demokrasi liberal, yang tampak amat kasat mata. Sejak reformasi politik 1998.

Ciri-ciri liberalisme adalah kekuatan kapital. Maka tak heran, demokrasi liberal yang terjadi di Indonesia hari-hari ini tidak jauh-jauh dari “demokrasi kapital”. Siapa yang punya uang atau akses kapital, merekalah yang paling berpeluang merebut kekuasaan.

Ada sebuah ilustrasi yang baramgkali bisa dipakai. Barangkali ini pula yang bisa menjelaskan, mengapa tiba-tiba heboh ketika ada selentingan bahwa Mahkamah Konstitusi bakal memutuskan sistem pemilu legislatif tahun depan dengan proporsional tertutup. Yang paling heboh anggota DPR yang sekarang menjabat. Mereka bahkan mengancam akan “memboikot” anggaran MK, karena merekalah penguasa anggaran yang sebenarnya.

Hla kok DPR mengancam MK dengan menggunakan hak bujet yang dimiliki parlemen? Bila itu terjadi, demokrasi macam apa pula yang mereka usung, ketika alat kekekuasaan (alias birokrasi persetujuan anggaran) dipakai sebagai alat penekan dalam pembuatan desain atau fundamental kebijakan politik?

Bukankah itu salah satu contoh “intervensi” yang paling tampak, meski tidak perlu menyebutnya dengan istilah cawe-cawe? Saya membuat ilustrasi itu supaya tidak terjebak dalam terminologi yang sulit dipahami.  Yang jelas, model politik, disain politik dan sistem politik di Indonesia masih terus berproses, bertumbuh dan berkembang. Saya bukan ahli politik, tetapi sebagai warga awam sah-sah saja berpandangan bahwa sistem demokrasi di Indonesia masih terus mencari bentuk. Belum final. Belum sampai fase terminal. Masih terus trial and adjust. Mencoba dan menyesuaikan. Tidak ada kebenaran mutlak, dan sebaliknya kesalahan absolut. Semuanya masih serba relatif. Tergantung tujuan bernegara kita seperti apa.

Dalam konteks itulah, saya sependapat dengan cawe-cawe-nya Pak Jokowi. Silakan berbeda bendapat. Karena beda pendapat itulah sebenarnya esensi demokrasi. Buat saya, apa yang tengah dilakukan Pak Jokowi, yang sangat tidak populer di kalangan elite itu, sah dan wajar saja. Buat saya pula, Presiden Jokowi justru menegaskan sikapnya. Tidak ragu-ragu memperkuat visinya. Pak Jokowi tampaknya tengah menuliskan teori politik baru Indonesia. Bisa jadi, “Demokrasi Cawe-cawe” ala Pak Jokowi ini justru malah akan memperkuat fundamental sistem politik, dan menopang kemajuan ekonomi Indonesia.

Bagi saya, demokrasi liberal alias demokrasi kapital yang dialami Indonesia dua dekade terakhir ini malah perlu dikoreksi.  Di luar mekanisme pemilihan Presiden, barangkali kita perlu menata ulang aneka perundangan terkait dengan mekanisme politik dalam memilih kepala daerah, dan anggota DPR yang terbukti telah melahirkan demokrasi kapitalis ala Indonesia. Besarnya modal finansial untuk ikut kontestasi dalam Pilkada, misalnya, telah menghasilkan banyak bupati dan wali kota yang masuk penjara karena korupsi. Dan itu mengurangi peluang membangun kemajuan ekonomi daerahnya.

Maka, agar praktik demokrasi ke depan lebih relevan dengan kepentingan Indonesia, dan kekhasan Indonesia, tak ada salahnya melakukan koreksi. Ujung-ujungnya tentu untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Nah, bagaimana menurut Anda?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya