SOLOPOS.COM - Maria Y. Benyamin (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Tentang bunga, pertama-tama, adalah soal ketidakmengertian. Terutama dari perspektif ekonomi. Ketika harga bunga, seperti Aglonema, Monstera, atau Philodendron melambung drastis dan orang-orang tetap mengejar tanpa ampun.

Ironis memang kondisi saat ini. Kala ekonomi tengah terjepit akibat pandemi Covid-19, di suatu tempat, atau lewat platform media sosial, ada aktivitas jual beli bunga dengan harga yang boleh dibilang fantastis. Tak jarang bikin kita berdecak kagum. Bahkan, geleng-geleng kepala karena kerap tak masuk akal lagi.

Promosi 204,8 Juta Suara Diperebutkan, Jawa adalah Kunci

Ina Garten, penulis buku, juga lebih dikenal sebagai pembawa acara memasak Barefoot Contessa di Food Network, pernah mengatakan bahwa kemewahan pertama yang dia lihat setiap pagi ketika bangun adalah taman bunga. Taman itu memberi dirinya begitu banyak kesenangan.

Jika demikian, bunga dan taman, tidak sekadar hobi, tetapi makanan bagi jiwa. Apalagi di tengah ”perlawanan” terhadap Covid-19. Semua aktivitas normal terbatas. Pelariannya pun adalah kegiatan yang mungkin sebelumnya tidak begitu diperhatikan.

Ketika aktivitas harus dibatasi hanya seluas ukuran rumah, berbondong-bondong kesenangan pada bunga dan taman berubah menjadi terapi stres. Semua itu bisa jadi cuma asumsi, yang pada akhirnya diterima sebagai tren oleh kebanyakan orang.

Sama seperti tren bersepeda pada masa pandemi. Dari tren itu, para spekulan, pelaku pasar mulai mematok harga, yang lama-kelamaan makin fantastis. Masih lekat dalam ingatan. Pada 2006, harga bunga jenis Anthurium, atau dikenal sebagai gelombang cinta, naik tak terkira.

Bibit Anthurium dihargai Rp20.000 hingga Rp50.000 per pot. Anthurium jenis supernova bahkan pernah menembus harga Rp1 miliar. Periode gila-gilaan gelombang cinta itu cuma bertahan dua tahun, sebelum akhirnya kini kembali menjadi tanaman murah.

Harganya kini sekitar Rp25.000 per pot. Bahkan, ada yang mematok harga lebih rendah. Meledaknya harga Anthurium kala itu seiring dengan pertumbuhan properti. Rumah-rumah baru—yang konon dimiliki oleh kalangan atas—membutuhkan legitimasi sisi kemewahan desain interior, termasuk perpaduan dengan bunga dan taman.

Anthurium menjadi bunga pilihan yang dari mulut ke mulut akhirnya berkembang menjadi tren dalam merepresentasikan cita rasa mewah. Simak sekarang yang terjadi pada Monstera atau yang marak dikenal sebagai janda bolong. Dari yang tidak dilirik, kecuali memang untuk para pencinta bunga, janda bolong naik kelas.

Dari sebelumnya Rp10.000–Rp25.000 per tanaman, harga janda bolong naik harga jadi ratusan ribu rupiah. Bahkan, lelang yang dilakukan pada salah satu platform media sosial sering menempatkan janda bolong pada angka fantastis di atas Rp50 juta.

Janda bolong ukuran besar bahkan dihargai per helai daun. Makin banyak daun, tentu makin tinggi harganya. Sampai kapan keranjingan janda bolong ini berlangsung? Para pelaku usaha budi daya dan penjualan tanaman hias tentu saja memiliki agenda utama untuk mempertahankan tren ini selama mungkin.

Mereka telah banyak mengalami fluktuasi harga bunga pada masa lalu, naik drastis lalu turun drastis pada periode tertentu. Wajar mereka mengharapkan margin lebih, dari permintaan yang mendadak ramai.

Apalagi, kondisi ini berbanding lurus dengan pertumbuhan persepsi masyarakat yang eksponensial, antara pandemi, di rumah saja, taman, bunga, dan melepaskan stres. Di sisi lain, bagi para pencinta tanaman atau bunga, entah yang dari dulu memang sudah menekuni ini, atau yang tiba-tiba ”mendadak hobi” tanaman, bisa jadi ini adalah salah satu gaya hidup baru.

Ketika aktivitas belanja barang mewah lainnya terhenti sementara gara-gara pandemi, maka pelariannya adalah bunga. Belanja bunga mahal kini bak belanja barang mewah.

***

Pada tataran lain, Kamis (19/11/2020) kemarin, pasar keuangan menanti keputusan suku bunga Bank Indonesia (BI): menurunkan atau tetap mempertahankan suku bunga pada level 4%.

Sejak Oktober 2020 lalu, Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI tetap mempertahankan suku bunga pada level tersebut hingga saat ini. BI juga menahan suku bunga deposit facility di level 3,25% dan suku bunga lending facility 4,75%.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo sebelumnya mengatakan ruang penurunan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) masih terbuka di pengujung tahun 2020.

Pertimbangan utama BI menahan suku bunga sebelumnya adalah untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah karena ketidakpastian global maupun domestik, meskipun inflasi tercatat rendah dan pertumbuhan ekonomi perlu didorong.

Salah satu tugas BI adalah menetapkan bunga acuan. Suku bunga, secara tidak langsung, berfungsi mengendalikan laju ekonomi. Ketika ekonomi sedang tumbuh, mesin industri bergerak, dan daya beli menggeliat, BI bisa mengerem laju ini agar inflasi terkendali.

Caranya dengan menaikkan suku bunga. Sebaliknya, dalam kondisi tertekan, atau ekonomi merosot, BI mencegah agar ekonomi tidak lantas sakit parah dan menderita lebih lama. Caranya memangkas suku bunga.

Suku bunga memengaruhi pasar karena sentimen pemangkasan suku bunga dapat memicu pergerakan rupiah. Suku bunga acuan yang tetap atau turun memengaruhi imbal hasil aset rupiah di mata investor. Sementara itu, nilai tukar rupiah memengaruhi perdagangan, untuk aktivitas ekspor dan impor.

Beberapa saat menjelang pengumuman pada Kamis (19/11/2020) kemarin, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka lesu di level Rp14.100-an per dolar AS. Para pengamat ekonomi menyatakan kondisi itu wajar karena pasar menanti keputusan BI

Kebanyakan pengamat dan kalangan usaha juga memperkirakan BI akan tetap mempertahankan suku bunga acuan. Di luar dugaan, RDG BI memutuskan menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75%.



Suku bunga deposit facility turun menjadi 3% dan suku bunga lending facility sekarang di 4,5%. Keputusan BI tersebut mempertimbangkan perkiraan inflasi yang tetap rendah, stabilitas eksternal yang terjaga, dan langkah pemulihan ekonomi nasional.

***

Pada dasarnya tidak ada yang bisa memprediksi pertumbuhan ekonomi secara tepat. Pasar bergerak sesuai dengan hukumnya, seperti janda bolong yang tiba-tiba meroket dan bisa terempas. Harga janda bolong ditentukan oleh pasar: dari ketersediaan janda bolong di taman-taman, kecepatan produksi tukang taman, tren, persepsi pembeli, daya beli, dan peran spekulan.

Dengan adanya pembagian peran—tukang taman menyediakan stok, persepsi publik terjaga, daya beli pembeli stabil—kondisi pasar yang memberikan margin terhadap pelaku pasar terjaga. Mata rantai tersebut membawa dampak positif terhadap industri tanaman hias.

Secara kasatmata, kebijakan BI tersebut memang tidak familier untuk kebanyakan orang. Suku bunga adalah sebuah persepsi yang membentuk harga-harga acuan sesuai dengan jangkauan institusi keuangan dan kebutuhan masyarakat sehingga pasar tetap berjalan proposional.

Suku bunga yang lebih rendah pada dasarnya demi merangsang pertumbuhan ekonomi. Untuk mendorong kalangan kelas menengah yang memiliki rupiah tidak sekadar berbelanja janda bolong dan menyimpan duitnya pada instrumen investasi.

Ketika suku bunga turun, menabung menjadi tidak cukup menarik, sementara meminjam dan membelanjakan uang menjadi pilihan yang menarik.

Sama seperti berbondong-bondongnya kalangan menengah mengejar janda bolong untuk koleksi taman, BI berharap margin yang dinikmati para tukang taman dan bisnis pertamanan itu juga dirasakan secara merata oleh seluruh pelaku pasar.

Artinya, geliat ekonomi yang sedang mati suri oleh pandemi ini diharapkan berputar kembali. Nah, selalu ada serum agar janda bolong bisa berkembang dengan baik, menghiasi kemewahan pada pagi hari, ketika kita harus menjalani aktivitas dari rumah.

Demikian juga ekonomi, penurunan suku bunga adalah perangsang pertumbuhan ekonomi agar lebih baik. Janda bolong adalah penawar stres, suku bunga adalah ”jamu” pendorong pertumbuhan ekonomi.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya