WATES: Ancaman demam berdarah tahun ini bertambah. Pasalnya, anggaran penanganan Dinas Kesehatan (Dinkes) menurun drastis.
Kabid Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Buddy Ismantoro, mengatakan anggaran Dinkes untuk penanganan bencana tahun ini menurun jadi hanya Rp95Juta. Sedangkan, pada tahun lalu Rp185Juta. “Tahun ini jadi lebih rawan demam berdarah,” ucap Buddy, didampingi Kasie Pengamatan Penyakit dan Lingkungan, Baning Rahayu Jati, di kantornya, Kamis (26/2)
Promosi Banjir Kiper Asing Liga 1 Menjepit Potensi Lokal
Terlebih, pada tahun lalu, anggaran murni sebetulnya hanya Rp135Juta. Dinkes lantas mengajukan tambahan pada perubahan sehingga menjadi Rp185Juta. Mengingat ancaman demam berdarah ini, Buddy mengaku memang merencanakan pengajuan tambahan pada anggaran perubahan nanti. “Ya
itu juga kalau boleh,” katanya.
Sementara serangan demam berdarah biasanya datang pada awal dan akhir tahuh. “Padahal di awal belum cair, di akhir sudah habis,” imbuh Baning.
Anggaran itu digunakan untuk penanganan seperti penyemprotan (fogging), pendidikan epidemologis, siaran keliling, pemberantasan sarang nyamuk (PSN), pemantauan jentik berkala, abatisasi selektif.
Pada tahun lalu, fogging dilakukan sebanyak 28 kali. Satu kali fogging menghabiskan sebesar Rp4 juta.
Dinkes terbantu dengan masih tersedianya stok obat dari pusat. Satu kali fogging berarti dua kali penyemprotan pada lokasi yang sama dengan jarak 7 hari, dan mengenai sekitar 300 rumah. Fogging
dilakukan jika sudah ada bukti penularan secara epidomologis.
Baning mengingatkan fogging bukanlah cara yang tepat, karena hanya membunuh nyamuk dewasa, selama asapnya masih ada. Cara yang paling tepat, murah, dan semua orang bias melakukan sebetulnya adalah PSN. Sayangnya, masih banyak orang yang malas melakukannya. “Fogging itu
sebetulnya kurang efektif,” ucap dia.
Dinkes sudah melakukan 3 kali fogging di 3 lokasi yang berbeda yakni di Dusun Sentolo Lor, Desa Sentolo, Kecamatan Sentolo, di Dusun Wonoboyo, Desa Tuksono, Kecamatan Sentolo, dan paling terakhir minggu lalu di Dusun Pengasih, Desa Pengasih, Kecamatan Pengasih, karena memang sudah ada warga setempat yang terkena demam berdarah.
Baning menjelaskan untuk pemantauan jentik, suatu lingkungan tempat tinggal bisa dikatakan aman, jika memiliki angka jentik hanya 5% atau kurang. Atau dalam istilah kedokteran lebih dikenal kebalikannya angka bebas jentik (ABJ) 95% atau lebih.
Sementara itu berdasarkan data 3 orang warga Pedukuhan Pengasih, Desa Pengasih, menderita demam berdarah dan harus dirawat di rumah sakit (RS) selama beberapa hari.
Penderita pertama adalah seorang guru yang mengajar di Sekolah Dasar Blubuk, Sendangsari, Pengasih, Suwargito (51). Korban diketahui terkena demam berdarah pada 7 Januari, dan terpaksa dirawat di RS Bethesda sejak 11 sampai 15 Januari. Kedua adalah seorang pelajar di Sekolah Menegah Atas Pengasih 1, di Desa Margosari, Pengasih, Samsul Nurhidayat (16). Korban diketahui terjangkit sejak 25 Januari, dan terpaksa dirawat di RSUD Wates sejak 30 Januari hingga 3 Februari.
Korban yang tertular terakhir adalah seorang mahasiswa Universitas Islam Indonesia, yang kos di Jogja, Dimas Rizki Chandra (24 ). Diketahui terjangkit sejak 3 Februari, dan dirawat di RS Panti Rapih
7 Februari hingga 12 Februari.
Petugas Pelaksana Penanggulangan Penyakit Menular di Puskesmas Pengasih II, Widiarto mengatakan berdasar penyelidikan epidemologis (PE), diketahui angka bebas jentik (ABJ) dari lingkungan sekitar penderita terbilang rendah yakni 89%. “Sudah dilihat ABJ nya rendah,” ucapnya di Puskesmas.
Widiarto menuturkan dari hasil PE di sekitar rumah Dimas, dari 17 rumah, ditemukan positif jentik 4 rumah. Di sekitar rumah Samsul, dari 14 rumah ditemukan positif jentik 2 rumah. Sementara sekitar rumah Suwargito, dari 16 rumah ditemukan positif jentik, 2 rumah.
Pada Jumat (27/2), sudah dilakukan fogging untuk terakhir kali, pada lokasi yang sama. Fogging selalu dilakukan 2 kali pada lokasi yang sama, dengan jarak 7 hari.
Warga Pedukuhan Pengasih, tetangga dari Dimas, Maesaroh (48) mengakui di lingkungannya memang cukup banyak nyamuk. Menurut Maesaroh, fogging sangat diperlukan.“Memang banyak kebun-kebun, banyak parit-parit. Apalagi ada kebun yang nggak terurusi,” ucap dia.
Oleh Heru Lesmana Syafei HARIAN JOGJA