SOLOPOS.COM - Andrik Purwasito, Guru Besar Manajemen Komunikasi Lintas Budaya Departemen Komunikasi FISIP UNS

Andrik Purwasito, Guru Besar Manajemen Komunikasi Lintas Budaya Departemen Komunikasi FISIP UNS. (FOTO/Istimewa)

Kembalinya Kementerian Pendidikan Nasional menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ditandai dengan hadirnya dua wakil menteri pada kementerian tersebut. Kemudian melahirkan gagasan nyalawadi yakni pengubahan Institut Seni Indonesia (ISI) menjadi Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI). Rencana tersebut memunculkan dua kubu, yang pro dengan ISBI dan yang kontra. Tulisan ini mencoba melihat dari sisi yang lain.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Penambahan kata ”budaya” dari ISI menjadi ISBI berkonsekuensi yang luar biasa. Seni dan budaya adalah dua istilah yang sering digunakan sama, tetapi dalam praktiknya ambigu dan kontradiktif. Keduanya memang berbicara tentang hasil rasa, cipta dan karsa manusia. Keduanya buah peradaban manusia, menduduki posisi seperti dua sisi mata uang yang sama.

Perbedaannya, seni berkarakter khas yaitu ”ekspresi estetik” sedangkan budaya berkarakter ”norma dan nilai.” Alhasil, seni dan budaya merupakan dua matra yang dapat berjalan beriringan. Di sisi lain seni dan budaya melahirkan ketegangan-ketegangan. Untuk itulah, budaya harus dipahami sebagai suatu pedoman dan kaidah dalam perilaku kehidupan.

Ekspedisi Mudik 2024

Budaya sebagai ilmu yang berdiri sendiri sesungguhnya telah terepresentasikan dalam berbagai jurusan humanologi, seperti antropologi, sosiologi, sosiatri, etnografi, linguistik, termasuk seni seperti seni sastra, tari, musik, visual. Artinya apa? Institusi pendidikan seni tidak dapat lepaskan dari aspek atau unsur-unsur humanologi. Basis seni terletak pada kehidupan masyarakat. Seni seperti ilmu-ilmu lain mempunyai kemampuan untuk membangun masyarakat.

Kalau ISBI diarahkan untuk mengubah peranan seni untuk pembangunan budaya masyarakat, tidak perlu  menjadikan ”budaya” sebagai legitimasi penggantian nama. Biarkanlah ISI tetap menjadi institusi yang merepresentasikan dirinya sebagai ilmu yang mandiri. Apabila sekarang dipandang ada kekurangan dalam visi dan misinya, persoalan itulah yang menjadi pokok pengubahan dan bukan dekonstruksi nama.

 

Matinya Estetika

Dengan pemahaman tersebut, sangat jelas bahwa  pengubahan ISI menjadi ISBI merupakan langkah dekonstruksi yang membawa konsekuensi logis, yakni ”matinya estetika.” Kematian estetika adalah bentuk penghancuran sistem peradaban manusia. Apa yang diharapkan penggagas ISBI kurang lebih adalah kebudayaan sebagai alat bagi kemajuan bangsa. Pandangan ini menyamakan fungsi kebudayaan sebagaimana fungsi politik dan fungsi ekonomi. ISI yang sudah on the track  tersebut akan dibuatkan jalur baru, yakni jalur fungsional. Penggagas ISBI menganggap ISI hanyalah berfungsi sebagai lembaga pendidikan vokasi.

Pengubahan jalur akademik ISI menjadi jalur baru ISBI justru suatu langkah pragmatik untuk mengatasi stagnasi lulusannya. Hal ini disebabkan pemahaman penggagas ISBI yang keliru dengan mengatakan bahwa seni itu hanyalah bentuk keterampilan. Padahal seni adalah anak kebudayaan. Berbicara seni tidak mungkin dilepaskan dari kebudayaan. Culture is mother of art.  Kesimpulannya, istitut seni pada dasarnya adalah institut budaya juga. Ilmu seni, yang kini berkembang secara local genius,  merupakan bagian tak terpisahkan dari ilmu-ilmu budaya Indonesia. Biarkanlah seni sebagai ilmu pengetahuan mengembangkan dirinya sendiri secara lebih terarah dan memenuhi amanah Pancasila dan UUD Dasar 1945.

Persoalan ISI menjadi ISBI pada akhirnya adalah soal pembobotan wilayah institut seni. Seberapa besar penambahan bobot untuk ISI dapat ditelusuri melalui kurikulum yang diajarkan. Kalau pembobotan tentang kebudayaan dianggap belum cukup, persoalan dekonstruksi akan berubah dari dekonstruksi lembaga menjadi dekonstruksi kurikulum.

Promosi tentang profil lulusan ISI memang belum banyak menyentuh masyarakat luas. ISI lebih banyak dikenal sebagai institusi pendidikan yang berbasis kesenian, padahal idealnya seni mampu memasuki ruang-ruang sosial, politik dan ekonomi. Termasuk juga pengetahuan yang cukup dari pengelola pendidikan untuk melakukan pendekatan yang berkaitan erat dengan perkembangan seni dengan perkembangan sosial, politik, budaya, teknologi, karena cara pandang yang salah bahwa seni terlepas dan dilepaskan dari perkembangan sains dan teknologi.

Pembobotan menjadi sangat penting, mengingat seluruh perkembangan masyarakat terutama masa depan bangsa dan negara harus menjadi acuan untuk pengembangan institusi pendidikan, termasuk ISI. Dari pengalaman saya, pendekatan interdisipliner dan multidisiplin akan mampu memberi bobot yang lebih agar seni berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang ikut berpartisipasi aktif dalam tanggung jawab sosial bangsa.

Pengubahan paradigmatik ISI melalui redefinisi peran lembaga, pembobotan pada visi dan misi serta perubahan kompetensi kurikulum akan lebih substantif daripada dekonstruksi lembaga dari ISI ke ISBI. Penggunaan kata ”budaya” tidak semudah dan sedangkal apa yang mungkin kita pahami selama ini. Budaya merupakan seluruh kegiatan manusia beserta seluk-beluk yang sangat kompleks. Dengan ISI menjadi ISBI,  para penggagas berambisi untuk memasukkan seluruh aktivitas kehidupan, sebagaimana yang tercakup dalam kata ”budaya”. Dalam format pendidikan yang sudah mapan ini adalah tindakan yang kurang bijak.

Seni Sosial

Belakangan ini muncul genre baru seni post-kontemporer Indonesia yang berbasis seni sosial, mendampingi seni lain seperti yang berbasis seni lingkungan, yang memfokuskan diri pada aktivitas seni yang bekerja dan berkarya seni bersama masyarakat (empowering society). Aktivitas ini diarahkan selain memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat, seni juga sebagai solusi untuk penyelamatan lingkungan (save nature). Dalam seni sosial, seni diarahkan untuk membangun kehidupan rukun dan damai (peacefull coexistance).

Tisna Sanjaya dari ITB Bandung yang baru saja lulus program doktor di ISI Yogyakarta mengerjakan proyek seni berbasis seni sosial. Hasilnya suatu gagasan tentang aktivitas menyelamatkan lingkungan di Cigondewah–masyarakat plastik di Bandung Selatan. Melalui Program Doktor Penciptaan Seni, ISI Yogyakarta memperluas cakrawala seni dalam sistem peradaban dunia.  Dengan lahirnya seni post-kontemporer yang berbasis sosial-budaya, perkembangan seni Indonesia mengalami revolusi seni yang sangat dahsyat, selain mulai meninggalkan cita-rasa estetik seni menuju menuju cita-rasa estetik sosial.

Perkembangan tersebut memang membutuhkan perhatian dan kepedulian pengelola pendidikan, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Seni tidak saja berada di wilayah yang elitis, tetapi seni sosial adalah antitesa terhadap seni yang beradaptasi dengan kapitalisme menuju seni yang beradaptasi dengan lingkungan sosial. Seni sosial adalah seni yang berpihak untuk masyarakat yang terpinggirkan oleh sistem kapitalistik dengan pembebasan lokal, bukan saja untuk kepentingan dan tindakan seni, tetapi  menuju tindakan global bersama teknologi, media baru dan perkembangan sains.

Seni sosial mengajak masyarakat go green yang telah dibuktikan oleh Tisna Sanjaya dengan upaya mengubah sikap dan pola perilaku yang destruktif ke arah sikap dan perilaku yang konstruktif, dari sentimen primordial monokultur menjadi multikultural, berbasis semangat hidup bersama dalam perbedaan.

Dalam hal ini, seni berada di posisinya sebagai ”jembatan sosial”  yang mencita-citakan keindahan dunia (mamayu hayuning bhawana). Keindahan dunia adalah keindahan sosial (social aestethic). Keindahan seni di Cigondewah adalah keindahan bagi dunia itu. Meskipun keindahan sosial masih dalam taraf cita-cita moral, tetapi seni mengerjakan bidang sosial-budaya yang berarti mengemban dharma perguruan tinggi, yakni pengabdian kepada masyarakat. Seni sebagai jembatan sosial telah merobohkan determinasi space and market, yakni robohnya sekat-sekat dan pasar modal dalam kesenian.

Seni sosial tidak hanya mengangkat fenomena global seperti penindasan, perusakan lingkungan, perang dan pemerkosaan melalui karya seni bersama masyarakat, tetapi berbuat konstruktif untuk memperbaiki kesalahan dan keserakahan manusia.  Dari uraian di atas, jelas ISI bukan sebagaimana dibayangkan orang selama ini, hanya berkutat seputar seni untuk kesenian itu sendiri. Seni mampu menjadi penyelamat lingkungan, mampu menjadi pendamai tetapi juga menjadi penghibur dan pemberdaya masyarakat. Kalau memang demikian gagasan ISBI sebaiknya ditanggalkan saja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya