SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Bank Indonesia (BI) beberapa waktu lalu mencoba melakukan stress test, yakni meneliti kejadian-kejadian tertentu yang memiliki dampak sangat parah sehingga menyebabkan terjadinya outcome buruk pada industri perbankan. Kendati dalam hitungan persentase, porsinya kecil, namun berpotensi mengguncangkan sistem perbankan nasional.

Hasilnya, BI meyakini bahwa fundamental industri perbankan dalam negeri cukup kuat, sehingga bank sentral meminta sejumlah kalangan agar tetap optimistis. Kendati terkena imbas dari resesi global, bank-bank domestik diperkirakan masih akan bisa bertahan.

Promosi Komeng Tak Perlu Koming, 5,3 Juta Suara sudah di Tangan

Berdasarkan stress test yang dilakukan BI, bank masih tahan terhadap tiga risiko pasar, yakni perubahan risiko suku bunga, gejolak nilai tukar dan penurunan harga obligasi pemerintah atau surat utang negara (SUN). Dilihat dari sisi likuiditas, solvabilitas serta profitabilitas  kondisi keuangan bank-bank masih cukup kuat dalam menghadapi ketiga risiko tersebut.

Indikator pertama, risiko suku bunga dengan kondisi CAR industri perbankan saat ini, apabila ada kenaikan suku bunga 100 bps, secara umum CAR bank memang akan menurun, yakni 0,3%.
Kedua, dari segi nilai tukar, jika terjadi depresiasi setiap Rp1.000 per-dolar AS, CAR perbankan juga masih kecil penurunannya. Bahkan jika rupiah terdepresiasi sampai Rp4.000 per dolar AS pun, kondisi bank tidak mengkhawatirkan, karena dalam ketentuan bank posisi devisa neto bank-bank tergolong rendah, sekitar 3,5%.

Ketiga, terkait dengan dampak penurunan harga SUN dari total portofolio perbankan saat ini Rp282 triliun, apabila terjadi harga jatuh sebesar 1%, potential loss terhadap perbankan dalam negeri hanya Rp1,5 triliun.

Belum komprehensif.
    Kita boleh-boleh saja berbangga bahwa kondisi perbankan di tanah air cukup memiliki daya tahan (bank endurance) yang lumayan memuaskan. Endurance (menurut Oxford Dictionary) memiliki pengertian sebagai “the ability to continue doing painful or difficult a long period of time without complaining”.
    Dalam bahasa yang jernih, bank endurance memiliki pengertian sebagai daya tahan perbankan terhadap berbagai macam gejolak, guncangan, dan kejadian dahsyat yang tak terprediksi dalam tempo/periode waktu tertentu tanpa harus meminta bantuan dari pihak lain.

    Benarkan bank endurance (daya tahan perbankan) sudah cukup bagus untuk menghadapi berbagai macam gejolak di pasar financial? Jawabannya mungkin meragukan, karena bank sentral belum melakukan stress test secara komprehensif.

    BI misalnya belum memasukkan adanya risiko kredit dan risiko operasional, sebagaimana layaknya diatur dalam regulasi Basel Accord II. Padahal, aturan ini menurut regulasi perbankan yang dikenal dalam Paket April 2008 lalu, sudah mulai diadopsi dalam bentuk implementasi manajemen risiko bank sesuai dengan Basel Accord II.

    Artinya sudah harus ada capital charge (penyisihan modal) dalam, pertama, risiko kredit yang memiliki pengertian sebagai risiko kerugian yang terkait dengan kemungkinan kegagalan counterparty memenuhi kewajibannya atau risiko bahwa debitor tidak membayar kembali utangnya, belum diperhitungkan di dalamnya.

    Padahal, resesi ekonomi belakangan ini, akan menurunkan daya beli masyarakat, yang pada gilirannya berpengaruh secara  langsung terhadap kemampuan debitor untuk mencicil kreditnya. Jika ditambah dengan masih tingginya bunga kredit perbankan, jelas akan semakin meningkatkan potensi terjadinya kredit macet.

Pengalaman dengan krisis moneter di tahun 1997/98 lalu, bank-bank banyak yang kolaps akibat kredit macet. Tidak hanya itu, bagi sebagai besar bank, risiko kredit merupakan risiko terbesar yang bisa membangkrutkan bank. Bahkan bukan tidak mungkin kerugian pada kredit dapat menghancurkan modal bank dalam tempo singkat. Kita semua tentunya harus waspada dan mengantisipasi faktor risiko kredit ini, baik untuk kredit komersial (untuk investasi dan modal kerja) maupun kredit konsumsi (KPR, KPM, KTA maupun kartu kredit).

Terlebih kredit untuk korporasi besar manufaktur yang belakangan tengah mengalami penurunan permintaan pasar ekspor. Lesunya permintaan pasar untuk industri manufaktur ini diperkirakan akan menciptakan kredit macet skala kakap di perbankan. Tak aneh, kalau bank-bank besar yang memiliki eksposure kredit di bidang ini, sudah mulai mencadangkan modalnya untuk meng-cover risiko ini. Konsekuensinya, kembali kualitas kredit bank-bank akan memburuk. Fenomena ini akan memicu terjadinya kenaikan non-performing loans (NPLs) bank-bank domestik.

Kedua, risiko operasional juga perlu dimasukkan dalam perhitungan stress testing. Risiko ini didefinisikan sebagai kerugian yang diakibatkan oleh kagagalan bank atau tidak memadainya proses internal, manusia, sistem atau sebagai akibat kejadian eksternal. Kasus yang menimpa Barings (London, 1995) merupakan kasus klasik terjadinya risiko operasional, akibat kegagalan proses dan prosedur pengendalian internal. Kasus yang diakibatkan “kesaktian” seorang trader-nya, telah merugikan Barings sebesar GBP 827 juta. Di Indonesia, fenomena lumpur Lapindo, yang telah membuat ribuan debitor bank macet, juga merupakan contoh risiko operasional.

Oleh sebab itu, tidak ada salahnya bank sentral melakukan berbagai kajian yang melibatkan semua risiko, tidak hanya risiko pasar. Kalau perlu risiko lainnya yang tercakup dalam Basel Accord II, yakni risiko bisnis, risiko strategis dan risiko reputasi juga dibuatkan skenarionya, sehingga akan memunculkan suatu kondisi yang benar-benar menggambarkan daya tahan perbankan yang sejati (genuine bank endurance).
Semua stakeholder, tentunya mengharapkan hal itu dilakukan, sehingga kita semua tidak hanya asal optimistis, dan sekadar meninabobokkan para pemilik dan pengelola bank semata. 

Oleh Susidarto
Manajer Operasional Bank Panin Jogja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya