SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

    Lihat saja sebagian besar pejabat negara kita. Dalam sehari mereka bisa melaksanakan sholat lima kali. Padahal sibuknya luar biasa. Bapak Presiden kita juga demikian. Tetap menjalankan ibadah yang sama walaupun acaranya sangat padat. Kalau kita, umat Buddha, ke vihara untuk berpuja bhakti seminggu sekali saja sudah merasa sibuk, berarti jadwal kita lebih padat dari seorang presiden!

    Kalau kita sering ke vihara keyakinan akan Dhamma dapat terbangkitkan. Jika ajaran Sang Buddha dipraktekkan, lalu terbukti maka kita akan bahagia.

Promosi Bukan Mission Impossible, Garuda!

    Satu contoh misalnya, seorang ayah tetap tenang ketika anaknya jatuh sakit yang cukup parah. Sebab sang ayah sudah punya konsep agama Buddha dan juga sering meditasi. Dengan tenang ia membawa anaknya ke dokter untuk mendapatkan perawatan medis. Kemudian membawanya ke rumah sakit. Pikirnya, bila ia pingsan nanti istrinya ikut pingsan, siapa yang akan membawa anaknya ke rumah sakit. Penyakit anaknya tidak segera mendapat perawatan dengan semestinya sehingga dapat menyebabkan kematian.

    Nah, orang seperti ini kalau bercerita di vihãra akan dapat menumbuhkan rasa kekaguman terhadap ajaran agama Buddha.

    Kita harus kagum karena kita sudah mengerti ajaran-Nya, walaupun mungkin masih sedikit. Bagaimana bisa lebih mengerti kalau tidak mau ke vihãra? Membaca paritta di rumah memang menambah kamma baik, tapi tidak menambah pengertian kita. Untuk itulah perlu ke vihãra.

    Di vihãra kita juga bisa bertemu dengan teman-teman dan berbagi pengalaman, baik pengalaman biasa ataupun yang berkaitannya dengan Dhamma. Misalnya, ada yang bercerita bahwa sebelum kenal agama Buddha dia suka marah-marah. Tapi sekarang bisa jadi tenang. Ada juga yang bercerita kalau dulu di sekolah dia bodoh sekali. Ujian tidak pernah lulus. Sekarang cerdas, ujian bisa lulus terus. Soalnya sudah mengenal ajaran Sang Buddha. Berbagi pengalaman dan kesaksian seperti ini sangatlah perlu.

    Ibarat menonton film. Misalnya, film seri TV. Sering gara-gara film di TV, vihãra menjadi sepi. Apalagi jika film diputar pada hari di mana diadakan puja bhakti. Banyak yang tidak datang.

    Nah, mengapa tiap hari orang masih sempat nonton film seri tv padahal mereka sibuk? Jawabannya, karena mereka kagum. Walaupun kadang mereka harus mengeluarkan air mata.

    Begitu pula dengan agama Buddha. Kalau sudah kagum maka pasti minimal tiap hari Minggu orang akan datang. Orang kagum tentu ada alasannya. Apa sih alasan belajar agama Buddha? Karena agama Buddha bisa dirasakan dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

    Dasar Agama Buddha adalah kenyataan bahwa setiap saat kita selalu punya perasaan kecewa (dukkha). Agama Buddha mengatakan hal ini bukan karena pesimis terhadap kehidupan. Bukan juga optimis. Tapi karena agama Buddha bersifat realistis, nyata, dan dapat dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari. Berpisah dengan yang dicintai- entah orang, barang, atau hal lain- dan berjumpa dengan yang dibenci.

    Juga ketika kita menginginkan sesuatu tetapi tidak terpenuhi. Semua itu membuat kecewa. Contoh nyatanya, dalam puja bhakti. Saat membaca paritta, ada yang ingin cepat-cepat, tapi kenyataannya yang lain malah pelan. Atau sebaliknya. Pula dalam bermeditasi, ketika kaki kita kesemutan. Pasti timbul kekecewaan.
Menyesuaikan pikiran

    Bila kita rajin mengamati gejala kehidupan, sebetulnya pengalaman tentang ajaran Sang Buddha selalu ada setiap saat. Semua pasti pernah kecewa. Kita akan melihat sebenarnya sumber kekecewaan itu adalah pikiran. Dari pikiran bisa muncul berbagai keinginan. Dari situ akan timbul kekecewaan.

    Dalam agama Buddha diajarkan bagaimana cara menyesuaikan pikiran. Kita tidak mungkin mampu mengubah kenyataan, tapi kita bisa mengubah cara berpikir kita. Misalnya, kita ikut ujian dan tidak lulus. Kita tidak mungkin mengubah kenyataan ini. Tidak masuk akal dengan mengempeskan ban mobil dosen atau mengancamnya lalu kita jadi lulus. Tapi pikiran bisa disesuaikan supaya bisa menerima kenyataan itu. Lalu, belajar lebih giat supaya bisa lulus.

    Sedikit demi sedikit kita mencoba mengatasi keinginan yang timbul dari pikiran. Belajar meditasi merupakan bagian dari latihan mengendalikan pikiran. Saat duduk diam bermeditasi muncul pikiran bosan. Timbul kegelisahan dalam diri kita. Tetapi jika sudah bisa mengendalikannya, kita akan tetap tenang.

    Malah timbul pikiran, inilah kesempatan untuk mengendalikan pikiran. Tetap konsentrasi, berusaha memusatkan perhatian pada satu obyek tertentu. Menyadari gerak pikiran. Bila pikiran lari ke arah lain, usahakan menariknya kembali pelan-pelan ke obyek semula. Begitu seterusnya sehingga lama-kelamaan pikiran bisa dikendalikan dan ketenangan pun dapat diperoleh.

    Dengan rajin meditasi kita akan selalu sadar. Kita bisa melihat bahwa hidup ini tidak kekal. Baik itu badan, pikiran, atau hal lainnya. Misalnya, seperti yang telah disebutkan di depan, yaitu pada saat meditasi kaki kita kesemutan. Tapi kesemutan tidak kekal, tidak berlangsung selamanya. Pasti akan hilang. Belum dan tidak ada orang yang menjadi lumpuh karena meditasi.

    Meditasi adalah latihan. Prakteknya, dalam kehidupan sehari-hari. Sama halnya dengan latihan karate. Karate dipakai bukan pada waktu latihan saja, tapi juga untuk bela diri di luar latihan bila diperlukan. Soalnya kalau hanya dipakai pada saat latihan saja, bagaimana ketika ada yang akan mengganggu. Apakah kita akan menyuruhnya menunggu sampai waktu latihan? Tidak mungkin.

    Begitu juga dengan puja bhakti. Dalam puja bhakti yang diadakan selama satu atau dua jam kita diajarkan untuk berbuat baik. Apakah itu berarti hanya selama puja bhakti saja berbuat baik, sedangkan sesudahnya bisa mencuri, membunuh, atau menipu orang? Tidak kan?!

    Dengan memahami segala sesuatu adalah tidak kekal maka pikiran akan terbebas dari kemelekatan. Kita akan selalu siap menghadapi kenyataan ketika apa yang kita inginkan tidak terpenuhi. Setelah menyadari hal ini maka kekecewaan pun akan hilang.

    Sesungguhnya inilah salah satu garis besar ajaran agama Buddha. Bahwa untuk mengatasi kekecewaan, kita harus mencari sumbernya dulu yaitu pikiran. Untuk mengatasinya bisa dengan latihan meditasi. Kalau sudah bisa membuktikan hal ini, maka yang muncul adalah kebahagiaan. Bukan lagi kekecewaan. Dalam diri akan timbul rasa kagum terhadap ajaran Sang Buddha. Kita takjub dan bergumam, “Kok ada ajaran yang bisa mengatasi kekecewaan?! Hebat sekali!”.

    Selanjutnya kita akan jadi lebih sering ke vihãra dan sering mendengarkan serta berdiskusi Dhamma. Datang ke vihãra bukan lagi untuk bertemu teman, pengurus, atau Bhikkhu, tetapi untuk mencari (ajaran) Sang Buddha. Tentunya karena didasari oleh kekaguman kita.

    Keyakinan terhadap Dhamma itu seperti sebatang pohon. Kalau terus dipupuk dan disirami, akan tumbuh. Sebaliknya bila tidak, bakal mati. Orang yang tidak pernah datang ke vihãra seperti pohon yang mati, karena tidak pernah disirami dengan Dhamma. Dia juga tidak pernah dipupuk dengan diskusi Dhamma, sehingga keyakinannya tidak kuat.

    Semoga semua makhluk baik tampak maupun yang tidak tampak memperoleh kebaikan serta kebahagiaan sesuai dengan kondisi kammanya masing-masing.
Sabbe satta bhavantu sukhitattha.

Oleh  Jiyono
Penyuluh Agama Buddha Kanwil Depag. Prov. DIY

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya